Spoiler for : PERLAHAN-LAHAN ia menoleh kepada Mahesa Jenar, dan ketika ia melihat Mahesa Jenar duduk di belakangnya, lagi-lagi orang itu tersenyum lebar. Quote:“Rupanya Angger telah berangsur baik, dan telah dapat duduk pula,” katanya. "Begitulah, Bapak," jawab Mahesa Jenar. "Tetapi agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger dalam ceritera ini?" tanya orangtua Jilid 12Karena itu, baik Mahesa Jenar maupun Gajah Sora pada saat itu harus mengerahkan segenap daya kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara itu. Namun demikian kesaktian Pasingsingan yang tersalur lewat bunyi tertawa itu bagaikan jarum yang menusuk-nusuk ulu hati. Alangkah nyerinya, bahkan panas pula seperti dijilat lidah pada saat itu Mahesa Jenar dan Gajah Sora telah mengerahkan segala kekuatannya, namun terasa tubuhnya menggigil dan semakin lama semakin kehilangan Gajah Sora maupun Mahesa Jenar pernah mendengar kisah dari sahabat-sahabatnya yang sering mengarungi samudera-samudera besar, bahwa di Laut Cina terdapat sebuah pulau kecil yang sangat ditakuti, sehingga pulau itu dinamai pulau hantu. Apabila ada kapal yang terjerumus ke dekat pulau itu, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Dari pulau itu terdengarlah berbagai macam nada orang tertawa-tawa dengan getaran yang dahsyat sehingga orang yang mendengarnya akan menjadi gila karenanya. Bahkan tidak jarang diantara pelaut-pelaut itu kemudian menemui ajalnya dengan cara yang mengerikan. Ada yang terjun ke laut, ada yang mati lemas, dan ada yang mati karena saling bertempur dan mereka meskipun tidak mendekati pulau hantu itu, mendengar pula suara tertawa yang mengerikan dan telah hampir berhasil merontokkan kesadaran ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar sudah hampir benar-benar jatuh ke dalam pengaruh suara itu, tiba-tiba terdengarlah suara tembang yang mengalun seolah-olah menyusur dedaunan dan sulur-sulur sepasang beringin itu. Kemudian dengan pengaruh yang sejuk, nada-nada itu menggetarkan udara dan menyusup ke dalam dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Suara tembang itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa pula. Tetapi dayanya berlawanan dengan suara tertawa Pasingsingan. Suara tembang itu seolah-olah siraman air yang memadamkan api yang menyala-nyala membakar kesadaran bersama-sama dengan daya perlawanan masing-masing, suara tembang itu segera dapat menenangkan pikiran Gajah Sora dan Mahesa ketika mereka berdua bersama-sama menoleh ke arah suara itu, dilihatnya Ki Ageng Pandan Alas dengan enaknya duduk di atas tanah bersandar dinding ringin kurung itu dengan kaki bersilang. Sikapnya seperti seorang anak gembala yang dengan tenangnya berdendang di bawah pohon rindang. Ketika itu sinar matahari sedang dengan teriknya memanasi padang rumput. Lagunya adalah lagu kesayangan orang tua, yang sudah sering didengar oleh Mahesa Jenar, yaitu lagu lagunya itu, Pandan Alas pun telah memancarkan kesaktiannya pula untuk melawan kesaktian yang merasa bahwa serangannya dapat digagalkan oleh Pandan Alas, menjadi semakin marah. Maka dengan menggeram hebat ia berkata, “Setan tua Tidakdapatkah kau menahan dirimu untuk tidak mencampuri urusanku. Aku telah mencoba melupakan kelakuanmu di Hutan Tambakbaya beberapa minggu lalu? Kini kembali kau berbuat gila, Pandan Alas, jangan menunggu sampai kesabaranku habis.”Ki Ageng Pandan Alas seolah-olah tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu. Ia masih saja berlagu terus sampai kalimat yang sikap Pandan Alas yang seolah-olah tidak mempedulikan ancamannya, Pasingsingan menjadi bertambah marah. Kini kesabarannya telah benar-benar habis. Menurut anggapannya, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Pandan Alas telah bersepakat untuk bersama-sama menghinanya. Karena itu ia telah bertekad untuk membuat perhitungan yang terakhir.“Pandan Alas..., biarlah aku berkata kepadamu demi persahabatan kita yang telah berpuluh-puluh tahun. Kalau kali ini kau tidak mau mendengarkan, biarlah untuk seterusnya kau tidak akan pernah mendengarnya lagi.””Pandan Alas , coba kau tahan dirimu sedikit kali ini. Janganlah kau menghalangi akuuntuk mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau kau sendiri ingin memilikinya, sebaiknya kita berlomba siapakah yang mendapatkannya lebih dahulu. Juga terhadap kedua anak-anak yang tidak mempunyai sangkut paut apa-apa dengan kau itu. Biarlah aku bereskan dahulu. Yang seorang telah menghantam muridku dengan Sasra Birawa di hutan Tambakbaya, sedang seorang lagi telah menyerang aku sehingga jubahku tersobek,” kata suara Pandan Alas tertawa pendek. “Pasingsingan..., benarkah aku pernah bersahabat dengan kau? Kalau dahulu aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Pasingsingan pula, aku kira berbeda dengan Pasingsingan yang aku hadapi sekarang,” tanya Pandan Alas.“Maksudmu?” tanya Pasingsingan. Suaranya terdengar bergetar menahan kemarahan yang sudah memuncak. Tetapi karena ia memakai kedok maka kesan mukanya tak dapat diketahui.“Maksudku adalah...” jawab Pandan Alas, “Pasingsingan yang aku kenal sifatnya sama sekali berbeda dengan Pasingsingan yang sekarang berdiri di hadapanku. Pasingsingan yang aku kenal dahulu meskipun ujud dan bentuknya tepat seperti kau ini, tetapi wataknya adalah berlawanan sama sekali. Menurut perhitunganku, Pasingsingan sahabatku itu tidak mungkin mengambil seorang murid yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Tidak mungkin pula kini bekerja mati-matian untuk merampas Nagasasra dan sabuk Inten dari tangan murid sahabatnya yang lain, yang bernama Ki Ageng Pengging Sepuh, serta putra sahabatnya yang bernama Sora Dipayana.”Tampaklah tubuh Pasingsingan menggigil menahan diri. Nafasnya berjalan semakin cepat. Kembali terdengar suaranya yang dalam, yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perutnya. “Pandan Alas..., lalu siapakah menurut dugaanmu aku ini?”Pandan Alas mengerinyitkan alisnya. “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah kau menamakan dirimu Pasingsingan. Aku tidak membantah bahwa kau bernama Pasingsingan. Tetapi kau bukan Pasingsingan sahabatku itu, meskipun kau juga mempunyai tanda-tanda yang bersamaan dan ilmu Gelap Ngampar yang baru saja kau pertunjukkan untuk menjebol dada anak-anak itu.”Gajah Sora dan Mahesa Jenar tak sepatah kata pun berani mencampuri perbantahan mereka. Setelah mereka berdua mengalami serangan Pasingsingan dengan nada tertawanya yang bernama Gelap Ngampar itu, mereka merasa betapa kecil diri mereka untuk menghadapinya. Untunglah bahwa Pandan Alas berhasil menolong mereka menyelamatkan dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar yang dahsyat mereka berdua melihat kedua tokoh itu telah kehilangan kesabaran dan akan bertempur mati-matian. Maka sebaiknya bahwa mereka untuk sementara tidak usah berdesirlah dada mereka ketika mereka melihat Pasingsingan yang sedang marah itu, tiba-tiba dari dalam jubahnya menarik sebilah pisau belati panjang. Pisau ini mirip benar bentuknya dengan pisau yang sering dipergunakan oleh gerombolan Lawa Ijo, tetapi pisau ini tidak berwarna putih mengkilap, melainkan kuning memegang belati itu, Pasingsingan menggeram, “Pandan Alas, aku tidak biasa bertempur dengan senjata kalau tidak sedang mempertimbangkan untuk memotong kepala seseorang. Sekarang kau di sini bertiga dengan tikus-tikus itu untuk bersama-sama mengeroyok aku. Biarlah aku tidak akan mundur. Bahkan aku ingin membawa kepalamu bertiga ke Mentaok sebagai suatu bukti bahwa Pasingsingan tak dapat dihinakan orang.”Melihat pisau belati panjang itu di tangan Pasingsingan serta mendengar kata-katanya, mau tidak mau hati Gajah Sora dan Mahesa Jenar bergetar hebat. Meskipun mereka bukan orang-orang kerdil yang takut mati, namun menghadapi seorang seperti Pasingsingan, mereka merasa gentar juga. Tetapi bagaimanapun apabila keadaan sudah memaksa maka apapun yang akan terjadi pasti harus Gajah Sora dan Mahesa Jenar memusatkan segala kemampuannya yang ada lahir batin, dan disalurkannya menurut saluran masing-masing. Gajah Sora dengan Lebur Seketi dan Mahesa Jenar dengan Sasra Alas yang sejak tadi tampaknya acuh tak acuh saja, setelah melihat Pasingsingan bersenjata, menjadi agak terkejut juga. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan mata yang berapi-api ia memandang Pasingsingan seperti memandang hantu. Rupa-rupanya orang tua itu pun telah menjadi marah.“Pasingsingan..., kau ingat bahwa dahulu kita pernah bertempur?”Pasingsingan tidak segera menjawab, agaknya ia sedang mengingat-ingat. Baru beberapa lama kemudian ia berkata, “Aku ingat, Pandan Alas.”“Barangkali waktu itu kita baru pertama kali bertempur. Bukankah begitu?,” sambung Pandan Pasingsingan mengingat-ingat. Apakah maksudmu dengan menceritakan kembali masa-masa yang telah lama silam itu. Banyak hal yang sudah tak dapat aku ingat kembali.’Aneh...,” sahut Pandan Alas, “pertemuan yang menarik itu, kau kira, baik kau maupun aku tak akan melupakannya.”“Ya, aku ingat,” jawab Pasingsingan kesal.“Waktu itu aku mengira kalau kau adalah seorang penjahat yang sedang menyembunyikan wajah aslimu di belakang kedokmu yang jelek itu. Tetapi setelah kita bertempur tiga hari tiga malam tanpa berkesudahan, barulah kita saling bertanya.”Pandan Alas... potong Pasingsingan, adakah kau sedang mengorek rasa persahabatanku supaya aku memaafkan kau sekarang ini? Ketahuilah, aku sudah terlanjur mencabut pisauku ini. Maka pisau ini harus menemukan korbannya. Kalau kau menyesal telah mencampuri urusanku, kau boleh pergi. Tetapi tikus-tikus ini tetap di tanganku.”Mendengar kata-kata Pasingsingan itu bergeloralah dada Pandan Alas yang biasanya senang berkelakar. Meskipun demikian ia masih berkata tenang, “Kenapa kau takut mendengar ceritera-ceritera masa silam Pasingsingan? Adakah sesuatu yang telah menyiksa perasaanmu sehingga kau tidak berani mengingatnya lagi?”“Persetan dengan masa lampau,” bentak Pasingsingan. “Masa itu tak akan kembali lagi. Yang penting bagiku adalah masa kini dan masa depan perguruanku. Itu sebabnya aku berkeras untuk menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten.” Kembali terdengar suara tertawa Pandan Alas yang dipaksakan. Katanya; "tetapi hari ini adalah kelangsungan dari hari kemarin dan seterusnya. Hidupmu sekarang adalah kelanjutan dari hidupmu 25 tahun yang lalu.""Omongan orang sekarat," bantah Pasingsingan. "Aku pata menjalani kehidupanku kini tanpa masa lampau itu. Dan masa lampau itu sama sekali tak berarti bagiku.""Sebab masa lampau dari Pasingsingan itu bukan milikmu," jawab Pandan yang diucapkan meskipun diucapkan alam nada yang rendah, tetapi mempunyai akibat yang hebat sekali. Pasingsingan yang telah sekian lama menahan kemarahannya, mendengar kata-kata Pandan Alas dengan darah yang dijawabnya hampir berteriak, "Apa perdulimu. Bahkan aku sendiri tidak perduli kepada masa lampau itu. Dan sekarang menghadapi saat terakhirmu kau tidak usah mengigau tentang Pasingsingan. Apakah aku Pasingsingan sahabatmu ataukah Pasingsingan yang lain tidaklah penting bagimu. Tetapi Pasingsingan yang sekarang berada dihadapanmu inilah yang akan menentukan saat terakhirmu bersama-sama dengan kedua orang yang terlalu sombong itu. Nah bersedialah untuk mati. Aku sudah hampir mulai."Ketegangan yang memuncak telah melibat otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar. namun mereka melihat Pandan Alas tersenyum pahit sambil berkata " Nah kalau demikian aku yang seharusnya menentukan sikap pula. Kau tidak usah menyebut lagi demi persahabatan kita, sebab persahabatan diantara kita tidak pernah kita alami. Kalau aku menyebut masa lampau itu hanyalah supaya aku yakin dengan siapa aku berhadapan. Sebab terhadap Pasingsingan sahabatku itu, tak mungkin aku bersikap keras. Sekarang silahkan mulai," lalu tiba-tiba saja ditangan orang tua itu bercahayalah sinar yang kemilau. Itulah pusaka Pandan Alas yang dahsyat, yang bernama Kiai Sigar segera menjadi hening sepi, tetapi diliputi oleh ketegangan yang memuncak. Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk diatas kuda masing-masing seperti patung. Meskipun didalam dada mereka bergolak berpuluh macam persoalan yang simpang siur sebab dihadapan mereka dua orang tokoh sakti akan bertanding mati-matian sehingga meeka berdua merasa perlu untuk mempergunakan pusak itu, maka pertempuran yang akan berlangsung pasti akan merupakan pertempuran antara hidup dan sampai beberapa saat, mereka masih berpijak pada tempatnya masing-masing. Tak seorangpun dari kedua tokoh sakti yang bergerak. Sehingga terdengar kembali suara Ki Ageng Pandan Alas berkata "Pasingsingan, silahkan mulai. Aku sudah siap."Tetapi Pasingsingan tidak juga bergerak dan tidak menyahut pula. Ketika kata-katanya tidak mendapat sambutan, kembali Pandan Alas berkata "Pasingsingan, kau jangan takut aku akan maju bersama kedua anak-anak itu. Sebenarnya aku merasa kurangperlu untuk mempergunakan pisau dapur yang tak berharga ini untuk melawanmu, tetapi aku tidak ingin merendahkanmu, sehingga terpaksa aku mempergunakannya juga. Meskipun demikian baiklah aku katakan kepadamu, bahwa mungkin karena kau sama sekali tak menghargai masa lampaumu itulah maka terasa ilmumu mengalami kemunduran."Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas itu tampaklah tubuh Pasingsingan bergetar serta tangannya yang memegang pusaka itu menggigil hebat. Ia sama sekali tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram hebat untuk menahan marahnya. Meskipun demikian Pasingsingan masih tidak bergerak dari Ki Ageng Pandan Alas berkata; "Gajah Sora dan Mahesa, kenapa kalian datang kemari ?. , tak usahlah kalian menonton orang tua bermain-main. Barangkali bagi kalian lebih baik apabila kalian kembali dan menjaga kedua keris itu."Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas tergetarlah dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka segera teringat kepada kedua pusaka yang hilang itu. Maka jawab Gajah Sora "Ki Ageng, ketika aku pulang tadi, aku masih sempat menyaksikan pusaka itu dicuri oleh Pasingsingan, tetapi aku sama sekali tak berdaya untuk menahannya."Kata-kata itu menggelegar seperti guruh yang meledak diatas kepala Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas terloncat maju mendekati Gajah Sora sambil berteriak; "apa katamu? kedua pusaka itu hilang diambil Pasingsingan ?."Belum lagi Gajah Sora menjawab terdengar Pasingsingan menyahut; "Gila, kau jangan mencoba memutar balikkan keadaan. Tipu muslihat yang tak berharga itu jangan kau pamerkan dihadapanku, supaya aku tidak lagi berusaha untuk mendapatkan pusaka dari tanganmu."Maka terdengarlah Gajah Sora berkata, "Ki Ageng Pandan Alas, aku berkata sebenarnya bahwa kedua keris itu telah hilang.""Tidak mungkin," potong Ki Ageng Pandan Alas. "Pasingsingan sejak kau meninggalkan kami masih tetap bersama dengan aku."Gajah Sora menjadi ragu sebentar. Memang tidak mungkinlah bahwa Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Ki Ageng Pandan Alas dapat mengambil kedua keris itu. Karena itu katanya kemudian dengan jujur, "Ki Ageng, aku tidak dapat memastikan dengan jelas siapakah yang telah mengambil kedua keris itu. Tetapi aku dapat melihat bahwa orang itu memakai jubah abu-abu pula tepat seperti apa yang dipakai oleh Pasingsingan itu.""Apakah orang itu berkedok pula ?," tanya Pandan Alas. "Itulah yang tidak jelas," jawab Gajah Ageng Pandan Alas tampak merenung. Rupa-rupanya ia seding berfikir keras apakah kira-kira yang telah terdengarlah Pasingsingan berkata, "Aku dapat mempercayai omonganmu Gajah Sora. Tampaknya kau memang tidak bermaksud membohongi kami. Dan rupa- rupanya karena itu pula kau menyerang aku dengan tombakmu. Nah kalau demikian aku tidak perlu terlalu lama lagi berada disini, sebab kedua keris yang aku kehendaki itu sudah tidak ada lagi. Tak ada gunanya lagi bagiku untuk melayani orang gila macam Pandan Alas. Tetapi meskipun demikian sekali waktu aku ingin bertemu dengan kau kembali."Pasingsingan tidak menunggu jawaban lagi. Dalam waktu sekejap ia telah hilang dari pandangan tinggallah kini Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang telah maju pula mendekati Gajah Sora, serta kemudian bersama-sama meloncat dari punggung kuda masing-masing.“Mahesa Jenar...,” kata Ki Ageng Pandan Alas, “aku berharap sekali bahwa aku atau kau berdua dapat menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu ke Istana Demak. Tetapi rupa- rupanya keadaan belum mengizinkan.”Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka berdua merasa bahwa mereka ternyata tak dapat memenuhi keinginan orang-orang bahwa Ki Ageng Pandan Alas terguncang pula hatinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam serta beberapa kali ia menghela nafas panjang. Sementara itu dari arah utara tampaklah sebuah bayangan yang seolah-olah melayang di udara mendekati mereka bertiga yang berdiri terpaku diantara kedua batang ringin kurung yang masih saja acuh tak acuh pada keadaan di bahwa yang datang itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika dilihatnya bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di situ pula, maka segera ia menyapanya, “Assalamualaikum Adi Pandan Alas, apakah yang telah terjadi di sini?”Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera membungkuk hormat. Namun dalam dada mereka terasa bahwa jantung mereka berdenyut semakin Salam, Kakang, jawab Pandan Alas. Aku baru saja bermain-main di sini bersama Pasingsingan.”“Pasingsingan...?” ulang Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya. “Rupa-rupanya ia datang bersama muridnya Lawa Ijo.”“Rupa-rupanya orang itu benar-benar menginginkan kedua pusaka Demak yang disimpan oleh putramu,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Tidak hanya Pasingsingan,” jawab Sora Dipayana. “Untunglah bahwa Adi berada pula di sini, sebab aku tadi sedang sibuk melayani tamu dari Lodaya.”“Sima Rodra?” potong Pandan Alas.“Ya, ia datang bersama menantunya, dengan maksud yang sama.”“Hebat..., hebat sekali,” desis Pandan Alas. “Setan dari Lodaya itu memerlukan datang pula.””Tetapi...“ sambung Pandan Alas setengah berbisik, “tanyakanlah kepada putramu apa yang telah terjadi.”Tampaklah Ki Ageng Sora Dipayana menarik alisnya sehingga hampir bertemu.“Ada apa Gajah Sora...? Agaknya telah terjadi sesuatu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana kepada Gajah segera Gajah Sora menceriterakan tentang apa yang telah dilihatnya pada saat lenyapnya Nagasasra dan Sabuk Inten dari keterangan Gajah Sora, hati Ki Ageng Sora Dipayana terguncang hebat, sampai tubuhnya menggigil. Wajahnya yang bening itu segera menjadi seolah-olah diaduk oleh kemarahannya.“Setan manakah yang telah mengganggu kami itu?” geramnya.“Adi Pandan Alas...” katanya kemudian, “bukankah kau tidak melepaskan Pasingsingan itu barang sekejap?”“Tidak, Kakang,” jawab Pandan Alas. “Ia tetap dalam pengawasanku.”Kembali keadaan menjadi sunyi. Kesunyian yang tegang. Masing-masing dikuasai oleh perasaan yang bercampur baur diantara marah, kesal dan berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Gajah Sora dan Mahesa Jenar... memang apa yang terjadi adalah diluar kemampuanmu berdua. Apalagi kalian, kami yang tua-tua inipun menjadi pusing karenanya. Mungkin ada sesuatu yang tak beres pada Pasingsingan itu. Bukankah begitu Adi Pandan Alas?”Pandan Alas mengangguk mengiyakan. Lalu ia berkata, “Aku menjadi sulit untuk mengatakan tentang Pasingsingan. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang tidak wajar. Meskipun demikian aku masih belum berani meyakinkan bahwa ada lebih dari satu Pasingsingan.”Kalau begitu marilah kita lihat rumah itu, ajak Sora Dipayana. Barangkali ada sesuatu yang dapat menunjukkan tanda-tanda siapakah yang telah mengambil kedua keris segera berangkatlah mereka menuju ke rumah Gajah Sora, setelah Gajah Sora memungut kembali pusakanya. Mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat kesibukan yang luar biasa. Segera mereka meloncat lebih cepat untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi. Ternyata di Pringgitan, mereka melihat Wanamerta dan Sawungrana menggeletak tak sadarkan diri, sedang di sudut yang lain Panjawi yang luka parah menggeletak tak berdaya. Ketika mereka melangkah memasuki bagian dalam rumah Gajah Sora, mereka melihat Nyai Ageng Gajah Sora duduk bersimpuh, sedang di pangkuannya terletak kepala Arya yang masih kejadian itu semua, kembali Gajah Sora tergugah kemarahannya. Tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga karena itu giginya terdengar gemeretak dan nafasnya berjalan semakin ketika Sora Dipayana menyaksikan kejadian itu, hatinya tergetar wajahnya nampak tenang-tenang Sora Dipayana membungkuk, meraba dada Arya dan meneliti bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dari ceritera Gajah Sora, ia sudah tahu apakah yang menyebabkan Arya luka-luka. Tetapi tentang Wanamerta, Sawungrana, Panjawi serta beberapa orang pengawal yang lain, belumlah depan ruang tidur Gajah Sora masih menggeletak sesosok tubuh yang masih belum dikenal. “Apakah yang sudah terjadi dengan Paman Wanamerta dan yang lain-lain?”Tiba-tiba terdengar suara Gajah Sora Gajah Sora menjawab, “Ketika aku mendengar ribut-ribut... aku waktu itu sedang mengatur orang-orang yang mengungsi ke rumah ini di belakang, segera aku berlari masuk. Aku sudah tidak sempat menjumpai Kakang Gajah Sora dan Adi Mahesa Jenar yang katanya sedang mengejar seseorang berjubah abu-abu yang mencuri kedua pusaka simpanan Kakang. Tetapi tidak beberapa lama, muncullah begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku, Paman Wanamerta dan Paman Sawungrana. Seorang yang pendek bongkok dan berwajah menakutkan, seolah-olah ia pernah mengalami suatu penyakit yang mengerikan. Orang itu datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu kedua keris itu, serta menceriterakan dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi rupa-rupanya orang itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran antara orang itu seorang melawan Paman Wanamerta berdua dengan Paman Sawungrana yang kemudian dibantu juga oleh Panjawi dan beberapa orang. Tetapi ternyata bahwa dengan mudahnya orang itu dapat mengalahkan mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala barang-barang yang ada di rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu. Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa kedua keris itu tak dapat diketemukan, maka seperti pada saat ia datang, segera ia pun lenyap.” Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup Bugel Kaliki dari Gunung nama itu disebut, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah hantu itu telah mendengar pula tentang Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Akhirnya terdengar Ki Ageng Pandan Alas berkata perlahan.“Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling berkait,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana, “mengenai Bugel itu, sudah jelas, sambung Ki Ageng Pandan Alas. Dan ia tidak mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut di dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui, justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan.”Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa- rupanya ia pun sedang berpikir hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata, “Gajah Sora dan Mahesa Jenar..., rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-tua ini menghabiskan sisa hidup kami untuk menikmati ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami tidak dapat tinggal diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu bahwa kau tentu bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini. Jangan cemas, sebab kami pun telah pula menjadi bingung.”Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya. “Jadi kalian mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian,” sambungnya.“Akh... kau badut tua,” potong Sora Dipayana.“Maksudku, kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah, sekarang Gajah Sora... kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih. Sekarang aku kira justru Banyubiru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu usaha untuk menemukannya pula,” sambung Sora Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan gemetar, “Ayah..., maafkan aku yang sudah setua ini masih saja selalu mengganggu ketenteraman hidup ayah. Tetapi hal ini adalah benar-benar diluar kemampuanku.”Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek. “Jangan salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar biasa. Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas. Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan kedua keris itu kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua.”Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara, diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan dengan mengadu hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula kepada kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata, “Gajah Sora dan Mahesa Jenar..., aku sependapat dengan Kakang Sora Dipayana. Sebab berhadapan dengan orang- orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan, Bugel Kaliki, harus orang-orang tua pulalah yang melayaninya. Meskipun bagi kami sebenarnya lebih senang minum-minum sambil mengunyah jadah jenang alot. Bukan begitu, Kakang?”Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya, “Begitulah kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang.”“Tetapi aku tak akan sebebas dahulu, sahut Ki Ageng Pandan Alas. Sebab aku sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah pengalamannya.”“Murid...?” potong Ki Ageng Sora Dipayana.“Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan,” jawab Pandan Alas, “dan aku harus mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang baik.”Setelah mengadakan beberapa persiapan dan pesan-pesan, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas segera minta diri untuk memulai penghidupan dalam pengembaraan yang kedua sejak mereka menghentikan pengembaraan mereka pada masa muda tidak perlu lagi menunggu sampai esok atau lusa. Sebab bagi seorang pengembara, siang atau malam sama saja. Gajah Sora suami- istri dan Mahesa Jenar melepas mereka dengan perasaan yang berat dan terharu. Orang-orang tua yang seharusnya tinggal menikmati hasil lelah masa mudanya, masih harus bekerja keras untuk kesejahteraan umat manusia.“Tak ada yang membatasi umur kita untuk berjuang,” kata Ki Ageng Sora Dipayana ketika ia melangkah keluar gerbang halaman. Yang disambung oleh Ki Ageng Pandan Alas, “He, Mahesa Jenar, adakah kau dahulu memenuhi permintaanku? Menunggu sampai jagungku tua? Kalau begitu aku akan singgah dahulu ke sana untuk menikmati dua tiga buah jagung bakar.”Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, seperti terbang Ki Ageng Pandan Alas segera lenyap di gelap malam. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya itu. Memang Adi Pandan Alas dalam keadaan yang bagaimanapun juga, tetap saja dapat tertawa. Dengan begitu, rupa-rupanya ia akan panjang umur, kata Ki Ageng Sora Dipayana.“Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati-hatilah dengan pekerjaanmu masing-masing. Mudah-mudahan semuanya selamat dan baik. Biarlah aku pergi sekarang,” sambung Ki Ageng kepada Gajah Sora dan Mahesa Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama mengangguk hormat dan mengucapkan selamat jalan. Maka berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana ke arah yang bertentangan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Orang tua itu melangkah perlahan-lahan seperti orang yang sedang berjalan-jalan menghirup kesejukan udara Ki Ageng Sora Dipayana lenyap dari pandangan mereka, dan tenggelam dalam kehitaman malam, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar masuk kembali ke dalam rumah. Dilihatnya di sana Ki Lemah Telasih telah datang dan telah mencoba mengobati Aria Salaka, Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan orang-orang yang terluka, dengan ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat berusaha mengembalikan urat-urat yang salah Lemah Telasih tampaknya masih agak lebih muda dari Ki Asem Gede, tetapi tubuhnya jauh lebih besar dan lebih tinggi. Hanya matanya sajalah yang mirip benar dengan Ki Asem Gede, sejuk dan cekatan ia merawat orang-orang yang terluka itu berganti-ganti, sehingga beberapa saat kemudian semua telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang Gajah Sora masih saja merenungi putranya yang terbaring di bale-bale tempat tidur ayahnya dengan tanpa bergerak. Sedang di mata Nyi Ageng Gajah Sora itu kadang- kadang masih tampak butiran-butiran air mata yang satu-satu menetes memercikkan kesedihan hatinya. Tetapi karena kepandaian Ki Lemah Telasih, nafas Arya Salaka telah mulai berjalan teratur dan detak jantungnya sudah mulai berjalan Sora dan Mahesa Jenar duduk berdiam diri sebelah-menyebelah dari ruang tidur tempat Arya terbaring. Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan mereka seakan-akan jauh menembus lantai kelam yang tak menjadi sepi. Di kejauhan terdengar semakin jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan, seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik malam yang mencengkam itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Lemah Telasih. “Ki Ageng, luka-luka Ananda Arya tidaklah begitu berat. Mudah-mudahan atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, dalam waktu yang singkat luka itu akan segera sembuh kembali.”Gajah Sora menoleh perlahan-lahan ke arah Ki Lemah Telasih. “Syukurlah, Kakang. Mudah-mudahan Allah SWT memperkenankan. Lalu bagaimana dengan Paman Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan lain-lain?”Tampaknya luka-luka mereka pun akan dapat Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun bagaimanapun, hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten telah merupakan suatu lecutan pedih yang tak akan pernah tanpa disengaja, pandangan mata Gajah Sora terlempar ke arah sesosok tubuh yang masih belum ada seorang pun yang berani mengubah letaknya, yang menggeletak di muka ruang tidur Gajah Sora. Seketika itu dadanya menggelora kembali, tetapi dicobanya untuk menenangkan dirinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memeriksa mayat yang masih belum berkisar sama sekali itu. Tetapi pada mayat itu sama sekali tak dijumpainya tanda- tanda apapun yang dapat memberi petunjuk tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu ia pun segera duduk di dalam rumah itu kembali dikuasai oleh kesepian yang menekan, tetapi didalam setiap dada orang-orang yang berada di dalam rumah itu bergulatlah perasaan- perasaan yang simpang kesepian malam, di sela-sela gonggong anjing-anjing liar dan pekik burung- burung malam, lamat-lamat terdengarlah derap kaki kuda yang menderu-deru, semakin lama semakin dekat. Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mengangkat kepalanya untuk mengetahui dari manakah datangnya suara-suara itu ternyata adalah suara derap dari berpuluh-puluh ekor kuda. Tetapi karena sampai beberapa lama masih tidak terdengar tanda apapun, maka tahulah mereka bahwa rombongan itu pasti bukanlah rombongan dari orang-orang yang menyerang Banyubiru. Dan apa yang diduganya adalah benar. Rombongan itu adalah rombongan dari Laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir laskar-laskar yang menyerbu daerah mereka. Diantara mereka adalah Ki Ageng Lembu Sora, Pandan Kuning, dan tokoh-tokoh di halaman rumah Gajah Sora, segera mereka turun dari kuda masing-masing. Dengan wajah berseri-seri mereka segera masuk. Tetapi demikian mereka melangkah masuk, segera mereka menjadi terkejut dan bertanya-tanya. Di hadapan mereka terkapar sesosok mayat, sedang di bale-bale di sisi-sisi ruangan itu terbaring pula Wanamerta, Sawungrana, Panjawi dan beberapa orang lagi.“Apakah yang terjadi di rumah ini, Anakmas?” tanya Pandan Kuning gugup.”Beberapa orang telah datang ke rumah ini dan mengaduk segala isinya,” jawab Gajah Sora ketika melihat orang yang terbaring di depan ruang tidur Gajah Sora itu, menjadi terkejut. Wajahnya segera berubah. Tetapi sebentar kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Meskipun demikian segera ia melangkah masuk, langsung menuju ke arah mayat yang masih terkapar itu. Dengan kakinya ia menggerak-gerakkan tubuh itu dan membalikkannya sehingga mayat itu Lembu Sora mencoba menahan hatinya, Mahesa Jenar dapat menangkap suatu kesan yang aneh pada wajah Lembu Sora itu.“Siapakah orang ini, Kakang?” tanya Lembu Sora kepada Gajah Sora sama sekali tidak memperhatikan wajah adiknya sehingga tak suatu pun dapat ditangkap dari kelakuan Lembu Sora, yang menurut tangkapan Mahesa Jenar agak kurang wajar.“Entahlah, Adik,” jawab Gajah Sora. “Ia termasuk salah seorang dari tiga orang yang telah memasuki rumah ini.”“Tiga orang?” ulang Lembu Sora terkejut.“Ya, tiga orang. Dan satu dapat dibinasakan. Dialah orangnya yang tak beruntung, dapat dibunuh oleh Arya dengan tombak pusaka Kiai Bancak,” sambung Gajah Sora.“Arya dapat membunuh orang ini?”Agaknya, bagi Lembu Sora sangatlah mustahil bahwa Arya dapat berbuat demikian. Gajah Sora mengangguk mengiyakan. “Siapakah yang dua lagi?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.“Yang kedua, aku tidak tahu, Sedang yang ketiga adalah Bugel Kaliki.” “Bugel Kaliki...? Siapakah orang itu?” tanya Lembu Gajah Sora dengan agak segan-segan terpaksa menceriterakan tentang kedatangan tokoh-tokoh sakti ke dalam rumah ini.“Adakah salah seorang dari mereka berhasil mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.“Orang kedua yang tak kukenal itulah yang membawanya,” jawab Gajah jawaban itu, wajah Lembu Sora berubah menjadi merah membara. Tubuhnya gemetar serta giginya gemeretak. Rupa-rupanya ia pun marah sekali akan hilangnya kedua pusaka simpanan kakaknya dalam tanggapan Mahesa Jenar, sama sekali bukanlah demikian. Bagaimanapun ia sudah mempunyai prasangka yang tidak baik terhadap Lembu Sora.“Tidakkah Kakang dapat mencurigai seseorang?” kata Lembu Sora kata-kata adiknya itu Gajah Sora terkejut. Ia tidak tahu maksud kata-kata itu. Melihat kesan itu, Lembu Sora menyambung, “Kakang.., aku percaya akan kesetiaan rakyat Banyubiru terhadap Kakang, sehingga tidaklah mungkin mereka mau mengkhianati Kakang. Tetapi ternyata keris itu lenyap juga, meskipun menilik cara penjagaan halaman ini adalah tidak mungkin sama sekali, kecuali orang macam Bugel Kaliki. Tetapi barangkali Kakang lupa, bahwa diantara rakyat Banyubiru yang setia ini, di dalam rumah ini terdapat orang lain.”Kata-kata yang diucapkan dengan tegas itu terdengar di telinga Mahesa Jenar seperti petir yang meledak di Jenar adalah bekas seorang prajurit yang berwatak ksatria serta benar-benar seorang laki-laki jantan. Ia sendiri sangat membenci sifat-sifat licik dan didengarnya lewat telinganya sendiri, seseorang memfitnahnya, menuduhnya berbuat curang dan pengkhianatan terhadap Gajah Sora, yang meskipun belum begitu lama dikenalnya, tetapi karena sifat-sifatnya serta persamaan tujuan, maka orang itu sudah dianggapnya lebih dari seorang sahabat Mahesa Jenar segera bergolak. Dadanya tiba-tiba merasa sesak oleh desakan kemarahan. Untunglah bahwa masih diingatnya bahwa di ruangan itu terbaring beberapa orang yang terluka serta di dalam ruang sebelah putera Gajah Sora masih juga belum sadarkan diri. Karena itu sekuat-kuatnya ia masih mencoba menguasai dirinya. “Adi Lembu Sora...,kau jangan terlalu cepat mengemukakan pendapat sebelum kau pikirkan masak-masak untung-ruginya. Sudah aku katakan bahwa aku sendiri dapat melihat orangnya yang mengambil pusaka-pusaka itu. Jadi kalau benar dugaanmu pasti akulah orangnya yang pertama-tama akan bertindak.”Rupa-rupanya Lembu Sora masih belum puas mendengar jawaban kakaknya, maka ia menyahut, “Untuk melakukan pekerjaan itu, tidaklah perlu harus ditangani sendiri. Tetapi adanya seorang asing di dalam halaman ini, telah merupakan suatu kemungkinan untuk menuntun datangnya orang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab segala sesuatu telah dapat dipersiapkannya dengan saksama.”Jantung Mahesa Jenar rasa-rasanya hampir meledak mendengar kata-kata itu. Tetapi ketika ia melihat Gajah Sora telah berdiri dari duduknya, ia masih mencoba sekuat- kuatnya menahan diri.“Sudahlah, Adi Lembu Sora, pendapatmu baik aku perhatikan. Tetapi biarlah aku yang memutuskan.”“Tidak, Kakang... Mumpung sekarang kita sedang lengkap di hadapan Kakang, siap untuk menghukum siapapun yang mencoba untuk mengganggu ketenangan Banyubiru, meskipun ia adalah bekas sahabat Kakang sendiri. Adakah Kakang yakin bahwa orang itu sama sekali tak ada hubungannya dengan orang-orang yang menyerang Banyubiru?”Kembali Lembu Sora melanjutkan hasutannya, “Kakang Gajah Sora, paman Pandan Kuning, Bantaran Wirapati dan lain-lainnya telah bertempur dengan gagah perkasa mengusik laskar penyerbu itu. Dan sekarang di sini mereka harus menyaksikan seorang diantara penjahat-penjahat itu, yang mungkin lebih licik dan licin mendapat perlindungan dari Kakang. Apakah ”“Cukup! Kau jangan mengurus aku, Lembu Sora. Aku senang sekali bahwa kau mencoba ikut serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang aku alami. Tetapi janganlah kau memaksakan suatu pendapat yang belum dapat diyakinkan kebenarannya. Menghukum seseorang bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja tanpa bukti-bukti akan kesalahannya. Karena itu sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas perhatianmu itu, tetapi sebaiknya kau beristirahat di tempat yang sudah kami sediakan.”“Paman Pandan Kuning...,” kata Lembu Sora seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya, “... dan paman-paman yang lain serta para perwira di Banyubiru Dapatkahkalian membiarkan orang yang berkedok persahabatan ini mengkhianati kepala daerah kalian? Hilangnya kedua pusaka itu adalah suatu pengkhianatan yang tiada taranya dalam sejarah Banyubiru, sejak ayah Sora Dipayana masih memegang pemerintahan di Pangrantunan. Tetapi ternyata Kakang Gajah Sora adalah seorang yang terlalu luhur budi dan pengasih, sehingga ia tidak sampai hati untuk bertindak terhadap seorang yang menamakan diri sahabatnya, nah, para pahlawan, sekarang adalah waktunya bagi kalian untuk menunjukkan bakti kalian terhadap kepala daerah kalian serta daerah kelahiran kalian,” tambah Lembu kata-kata Lembu Sora yang diucapkan dengan berapi-api itu, ternyata hebat sekali. Mereka yang disebutnya pahlawan yang mempunyai kesempatan untuk berbakti itu, tiba-tiba menjadi lupa diri. Beberapa orang telah bergerak untuk menangkap Mahesa Jenar. Sedangkan Lembu Sora sendiri segera menarik pedangnya yang besar sekali, dan siap Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Banyak hal yang akan dikatakan untuk menyatakan kebersihannya serta banyak hal lagi yang dapat dikatakan pula tentang ketidakwajaran Lembu Sora. Tetapi terdorong oleh kemarahan yang memuncak maka bibirnya hanyalah tampak bergetar tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Apalagi ketika ia melihat Lembu Sora telah menarik pedangnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertempur Mahesa Jenar memusatkan segala kekuatan lahir batin, mengatur jalan pernafasannya dan siap untuk mempergunakan Sasra Birawa dalam pukulan yang pertama. Sebab ia tidak mau menanggung akibatnya apabila Lembu Sora telah memiliki aji Lebur Seketi seperti kakaknya. Maka sebagai seekor banteng murka, ia cepat berdiri dan bersiap menghadapi segala ketika Lembu Sora beserta beberapa orang yang berotak kosong serta hanya berpikir pendek untuk dapat disebut sebagai seorang pahlawan tanpa menilik masalahnya lebih dalam lagi, mulai bergerak. Tampaklah dengan kecepatan kilat Gajah Sora meloncat maju ke depan adiknya beserta orang-orang wajah merah membara, Gajah Sora berteriak dengan penuh kemarahan, “Hai orang-orang Banyubiru, akulah kepala daerah perdikan di sini. Kalau kalian maju selangkah lagi, kalian akan berhadapan dengan aku.”Lontaran suara yang penuh dengan perasaan marah itu terdengar dahsyat sekali. Beberapa orang yang telah bergerak seperti orang mabuk itu, tiba-tiba seperti terlempar kembali ke alam kesadaran. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang dengan penuh kebaktian dan kesetiaan mengabdikan diri mereka kepada tanah kelahiran serta kepala daerah perdikan karena itu pulalah dengan mempergunakan kesadaran akan kesetiaan itulah maka mereka kadang-kadang dapat dengan mudah digelincirkan ke dalam suatu perbuatan yang salah, yang justru bertentangan dengan kesetiaan mereka sendiri tanpa sesadar tiba-tiba pemimpin yang ditakuti, disegani dan dicintai itu seolah-olah telah menantang mereka. Maka tidaklah mustahil bahwa beberapa orang kemudian menjadi gemetar ketakutan seperti seekor tikus di tangan seekor kucing yang Sora, bagaimanapun angkuhnya, ketika melihat kakaknya benar-benar telah marah, dan benar-benar tidak termakan oleh hasutan-hasutannya itu pun menjadi agak takut pula. Sebab ia tahu betul akan sifat-sifat Gajah Sora. Meskipun dalam banyak hal Gajah Sora selalu mencoba untuk mengalah terhadap adik kesayangan ibunya itu. Tetapi apabila ia telah menentukan suatu sikap, tak seorang pun mampu itu dengan kecewa dan menyesal, Lembu Sora mundur beberapa langkah. Lalu katanya.“Maafkan aku, Kakang. Maksudku adalah baik, untuk kepentingan masa datang Kakang dan kesan yang teguh atas kepemimpinan Kakang. Tetapi agaknya Kakang salah terima”“Sarungkan senjata itu, perintah Gajah Sora.”Sekali lagi Lembu Sora tak berani melawan perintah kakaknya. Dengan segera pedangnya itu disarungkannya tegang itu kemudian untuk beberapa saat menjadi semakin tegang. Tak seorangpun yang berani bergerak, meskipun hanya jari kakinya. Bernafaspun mereka menjadi berhati-hati sekali, seolah-olah takut kalau-kalau bunyi nafasnya dapat menambah kemarahan Gajah Sora.“Lembu Sora...,” kembali terdengar suara Gajah Sora. Tetapi kali ini terasa bahwa kemarahannya telah menurun. Bagaimanapun ia adalah seorang kepala daerah yang bijaksana. Maka sekali ini pun ia menunjukkan kebijaksanaannya.“Baiklah... kau beritirahat,” sambung Gajah Sora, “mungkin kau terlalu lelah sehingga pikiranmu tak dapat berjalan dengan baik. Juga kalian laskar Banyubiru, aku persilahkan meninggalkan ruangan ini untuk mengaso. Setelah kalian bertempur untuk mempertahankan tanah ini, mungkin sekali otak kalian pun agak terganggu. Tetapi tak apalah Sekarang pergilah.”Tak seorangpun mengucapkan sepatah kata. Dengan kepala tunduk, mereka berjalan berebutan untuk lebih dahulu meninggalkan ruangan yang rasa-rasanya menjadi panas sekali. Demikian mereka sampai di halaman, segera mereka meloncat ke atas kuda segera kuda-kuda itu dipacu pulang ke rumah masing-masing untuk menyatakan keselamatan mereka kepada keluarga mereka masing-masing yang menanti dengan hati cemas. Sedang beberapa orang lagi bertugas untuk merawat kawan-kawan mereka yang gugur, dan yang terluka pun segera dengan tekun melakukan tugas Sora pun segera mengundurkan diri bersama-sama dengan para pengiringnya, ke tempat yang sudah disediakan, di gandok sebelah mereka, di dalam ruangan itu tinggalah Gajah Sora, Mahesa Jenar, Ki Lemah Telasih, dan orang-orang yang terluka. Mereka duduk tepekur tanpa berkata-kata. Angan-angan mereka mengalir menuruti pikiran masing-masing. Suasana segera menjadi hening. Kembali terdengar di kejauhan gonggong anjing-anjing liar berebut makanan. Sedang di ruang itu beberapa orang duduk seperti patung, kaku dan membisu. Tetapi perasaan mereka berputar seperti beberapa saat kemudian terdengar Gajah Sora berkata, “Adi Mahesa Jenar... maafkan kelakuan Lembu Sora beserta beberapa orangku yang sama sekali tidak percayalah bahwa orang-orangku sama sekali tak mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap Adi. Sayang bahwa Lembu Sora telah menyeret mereka ke dalam suatu tindakan yang memalukan.”Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sama sekali tidak akan dapat melupakan tuduhan pengkhianatan yang dilancarkan oleh Lembu Sora. Terhadap laskar Banyubiru, memang ia tidak menaruh banyak perhatian, sebab mereka hanya terpengaruh oleh hasutan-hasutan Lembu Sora saja. Namun, meskipun demikian, kepada Gajah Sora ia menjawab, “Sudahlah Kakang, mudah-mudahan aku dapat melupakannya. Aku harapkan bahwa Ki Ageng Lembu Sora tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan Sora mengangguk-angguk kecil. Ia dapat merasakan sepenuhnya kekecewaan Mahesa Jenar terhadap adiknya. Karena itu ia berkata menyambung, Aku akan mencoba selalu mengawasi anak itu selama ia berada di Banyubiru. Mudah-mudahan ia segan meninggalkan rumah ini untuk tidak menambah mereka berdiam diri. Dan kembali keadaan ruangan itu menjadi sepi. Sepi dan kaku, seperti garis-garis lurus dari sambungan-sambungan papan gebyok rumah Gajah Sora yang pecah berserakan karena ditembus oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama. Kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara rintih Arya Salaka dari dalam ruang tidur Gajah Sora. Mendengar suara itu, hampir bersamaan Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih meloncat, mendekati Arya. Wajah Gajah Sora yang suram itu segera berubah, karena tumbuhnya harapan yang semakin besar, bahwa Arya Salaka akan segera dapat sadar mereka bersama-sama memasuki ruangan itu, mereka melihat Arya sudah mulai menggerakkan kepalanya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Terdengarlah dari mulutnya ia merintih dan akhirnya terdengar Arya perlahan-lahan sekali menangis, meskipun agaknya ia mencoba menahannya Arya Salaka yang melihat Arya mulai sadar, segera memeluknya dan menciuminya dengan penuh rasa kasih dari seorang ibu. Tetapi Ki Lemah Telasih sebagai seorang tabib segera mencoba mencegahnya. ”Nyai Ageng, biarlah Ananda Arya bebas bernafas dahulu, supaya tubuhnya menjadi segar.” Wajah Gajah Sora pun segera menjadi cerah. Meskipun luka di hatinya dengan hilangnya kedua pusaka itu begitu dalam, namun Arya Salaka pun merupakan mutiara di hatinya yang tidak kalah Jenar yang sejak melihat Arya untuk pertama kali telah mengagumi anak itu, kini ia bertambah kagum lagi. Anak-anak yang masih pantas bermain gundu itu, andaikata tidak ada orang kedua, telah berhasil menggagalkan suatu usaha dari seorang yang tentu berilmu tinggi, dalam usahanya mencuri Kyai Nagasasra dan Sabuk asuhan Ki Ageng Gajah Sora, pastilah Arya kelak akan menjadi manusia yang mumpuni lahir dan batin. Apalagi andaikata kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana juga mau kemudian Arya Salaka telah benar-benar sadar. Ia telah mulai mengenali orang- orang yang berdiri di sekitar tempat saat itu malam telah semakin jauh, bahkan ayam jantan telah mulai berkokok untuk ketiga kalinya, suatu pertanda bahwa sebentar lagi fajar akan Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih pun segera meninggalkan Arya Salaka yang sudah mulai dapat tidur ditunggui oleh ibunya yang berbaring di sampingnya. Ki Lemah Telasih dan Mahesa Jenar kemudian meninggalkan ruangan itu pula untuk beristirahat. Ketika Mahesa Jenar turun dari pendapa untuk mengantarkan Ki Lemah Telasih sampai di gerbang halaman, tampaklah di timur sudah mulai membayang warna kemerah- merahan yang melapisi langit. Angin pagi yang sejuk menyapu wajah Mahesa Jenar yang masih tampak berminyak karena keringat yang berlapis demikian perasaan segar terasa menusuk sampai ke tulang ia berjalan ke gandok sebelah timur untuk beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia memasuki ruang yang disediakan ruangan itu pun telah dibongkar dengan hal itu, Mahesa Jenar tertegun. Ia tiada tahu siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, tetapi kejadian itu telah menyalakan kembali kemarahannya. Sayanglah bahwa Lembu Sora kebetulan adalah adik Gajah Sora. Kalau saja tidak ada hubungan antara kedua orang itu, sudah pasti bahwa ia akan membuat perhitungan secepat-cepatnya dengan Lembu Sora. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, yang dapat dilakukannya hanyalah menyimpan kemarahannya itu di dalam dadanya yang menjadi dengan susah payah ia dapat meredakan gelora hatinya sendiri. Dan karena kelelahan, Mahesa Jenar kemudian merebahkan dirinya di atas pembaringan dan sejenak kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya. Demikian nyenyaknya ia tidur, sehingga tidak terasa bahwa hari telah tinggi. Meskipun demikian masih saja ia belum bangun, apabila tidak didengarnya derap kuda di halaman. Ketika ia bangun dan membuka pintu depan, tampak sudah siap untuk berangkat Ki Ageng Lembu Sora beserta Lembu Sora siap meninggalkan Banyubiru, tanpa sadar Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa syukur bahwa orang yang sama sekali tak menyenangkan, baik wataknya maupun bentuk tubuhnya yang kaku itu, segera akan meninggalkan Banyubiru sebelum terjadi saat yang bersamaan, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sorapun memandang ke arah pintu yang sudah terbuka sedikit itu, dimana Mahesa Jenar sedang berdiri pandangan yang terjadi dengan tiba-tiba itu telah menimbulkan ledakan yang hebat di hati masing-masing. Pandangan mereka segera berubah menjadi tajam dan seolah-olah meskipun tanpa diucapkan, mereka telah berjanji bahwa pada suatu ketika mereka akan berhadapan sebagai lawan yang harus membuat perhitungan dengan taruhan yang sangat kemudian, Ki Ageng Lembu Sora segera memberi aba-aba kepada para pengiringnya, dan segera mereka pun pergi meninggalkan halaman Kepala Daerah Perdikan di regol halaman, sekali lagi Lembu Sora menoleh kepada kakaknya yang melepasnya dari atas pendapa beserta istrinya. Dan dengan sekali lagi menganggukkan kepalanya, Lembu Sora lenyap dari pandangan Lembu Sora hilang di balik pagar halaman, serta Ki Ageng Gajah Sora telah masuk kembali ke dalam rumah, segera Mahesa Jenar keluar dari Gandok Wetan dan langsung pergi lewat pintu pagar samping, menuruti tangga batu, pergi ke mata air dimana ia biasa baru saja ia akan melepaskan pakaiannya, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan diantara pepohonan agak diatas mata air itu. Dan ketika ia memandangnya lebih tajam lagi, dilihatnya seorang tua dengan seorang pemuda tampan berdiri memandangnya. Alangkah terkejutnya ketika diketahuinya bahwa orang tua itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri bertolak pinggang sambil tertawa nyaring. ”Kau agak kesiangan bangun, Mahesa Jenar,” katanya diantara derai Jenar segera membungkuk hormat. ”Ya, Ki Ageng,” jawabnya.”Mahesa Jenar...” sambung Ki Ageng Pandan Alas, ”Apakah Kakang Sora Dipayana telah meninggalkan Banyubiru?””Sudah, Ki Ageng.” ”Bagus,” sahut Pandan Alas. ”Aku juga akan segera pergi. Tetapi sengaja aku singgah sebentar untuk memperkenalkan muridku ini kepadamu.”Barulah Mahesa Jenar sadar bahwa Pandan Alas itu berdiri di sana dengan seorang lagi. Maka ketika ia mendengar bahwa Pandan Alas bermaksud memperkenalkannya dengan muridnya, segera ia membetulkan pakaiannya dan melangkah segera ia berhenti ketika Ki Ageng Pandan Alas menegornya, ”Tak usah kau naik kemari, Mahesa Jenar. Muridku agak malu berkenalan dengan kau yang telah memiliki nama besar sebagai seorang perwira prajurit Demak. Tidak saja itu, tetapi juga sebagai penolong yang luhur budi.”Mahesa Jenar segera tertegun heran. Apakah hubungannya dengan nama yang pernah dimilikinya. Tetapi ketika sekali lagi ia memandang murid Pandan Alas itu, hatinya terguncang hebat. Apalagi ketika orang itu menundukkan wajahnya yang tampak kemalu- Jenar segera mengenal siapakah murid Ki Pandan Alas itu. Karena itu wajahnya menjadi terasa panas dan jantungnya berdetak lebih cepat."Rupa-rupanya kau sudah mengenalnya Mahesa Jenar, " bertanya Pandan Alas sambil Jenar tidak segera menjawab. Mulutnya jadi seperti terdengar tertawa Pandan Alas semakin keras. Katanya; "Aku jadi geli, kalau aku teringat ketika Mahesa Jenar jadi marah bukan main dan hampir saja membunuh orang yang sama sekali tak bersalah beberapa pekan yang lalu di hutan Tambak Baya, ketika ia kehilangan bebannya."Juga kali inipun Mahesa Jenar tidak kata-katanya tidak mendapat jawaban Pandan Alas melanjutkan, "Mahesa Jenar, inilah muridku yang aku katakan. Siapakah nama yang pantas aku berikan kepadanya?."Mendengar pertanyaan yang berturut-turut itu hati Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia sendiri tidak mengetahui, kenapa ia tidak dapat menahan perasaannya sehingga ia kehilangan ketenangan. Murid Pandan Alas itu, meskipun jelas berpakaian seperti seorang pemuda, namun ketika Mahesa Jenar memandangnya agak lama, ia segera mengenal bahwa murid Pandan Alas itu sama sekali bukan seorang pemuda, melainkan ia adalah seorang gadis cantik yang sedang mekar, yang tidak lain adalah cucu Pandan Alas sendiri yaitu Rara Wilis yang pernah dikenalnya dan pernah ditolongnya. Pertemuan yang tidak diduga itu membuat Mahesa Jenar kehilangan ketenangan. Disamping itu iapun menjadi heran pula bahwa sedemikian cepat Ki Ageng Pandan Alas telah kembali bersama gadis itu. Kalau demikian ketika Ki Ageng Pandan Alas sedang bertempur dengan Pasingsingan, Rara Wilis pasti disembunyikan ditempat yang tidak begitu jauh dari Banyu saat kenangannya sedang menelusur kembali ke masa lampau terdengan kembali Pandan Alas berkata, "apakah kau mempunyai pilihan nama yang baik Mahesa Jenar ? Aku sendiri bingung memberi nama yang sesuai. Tetapi yang jelas aku tidak akan memberinya nama Lawa Ijo, meskipun nama aselinya bermakna hijau juga."Mahesa Jenar masih saja belum dapat menguasai dirinya sehingga mulutnya masih belum dapat mengucapkan kata. Bahkan ia menjadi gelisah. Melihat sikap Mahesa Jenar, Pandan Alas tertawa semakin keras, katanya, "Barangkali kau tidak siap menghadapi kejadian yang sangat tiba-tiba datangnya ini Mahesa Jenar. Tetapi tidak mengapa. Maksudku hanyalah supaya kau tahu bahwa cucuku ini aku bawa, supaya aku dapat melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu yang pertama untuk mengetahui siapakah yang telah membawa kedua keris Kiai Nagasasra dan Sabukinten, sedangkan yang kedua, supaya diperjalanan aku masih dapat mengajari anak ini selangkah dua langkah ilmu yang tak berarti, supaya ia dapat menjaga keselamatan dirinya. Sukur ia berhasil melepaskan pengaruh jahat ibu tirinya atas bapaknya yang sekarang bermukim di Gunung Tidar."Mendengar kata-kata Pandan Alas yang terakhir Mahesa Jenar terkejut, sahutnya; "Maksud Ki Ageng, Sima Rodra Gunung Tidar ?""Ya," jawab Pandan Alas. "Sima Rodra muda itu adalah bekas menantuku yang kemudian kena pengaruh seorang perempuan, maka ia seperti berubah ingatan. Sekarang keturunanku satu-satunya adalah Wilis ini. Karena itu, meskipun ia seorang gadis aku akan mencoba untuk membuatnya setidak-tidaknya dapat menyamai ibu tirinya. Maka supaya pantas aku beri ia pakaian laki-laki dan seharusnya namanyapun harus nama lelaki pula. Nah apa katamu kalau anak ini aku beri nama Pudak Wangi ?."Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Tetapi nama itu rasanya amat manisnya. karena itu, meskipun ia tidak menjawab, tetapi dengan tidak disengaja ia mengangguk juga. Ia terkejut ketika Pandan Alas meneruskan, "Ha rupanya kau setuju juga. Bukankah Pudak adalah nama dari bunga Pandan. Aku harap cucuku kelak akan dapat menjadi bunga Pandan yang wangi."Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia ingin menjawab tetapi ia tidak tahu bagaimana, sampai akhirnya Pandan Alas berkata lagi, "Mahesa Jenar kenapa kau diam saja. Setuju atau tidak, atau barangkali kau punya nama yang lebih baik ?.""Tidak Ki Ageng" akhirnya terpaksa ia menjawab sekenanya, "nama itu sudah baik sekali.""Bagus, Kau setuju dengan nama itu bukan. Nah kalau pada suatu ketika kau bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Pudak Wangi, jangan kau apa-apakan dia," sahut Ki Ageng Pandan Alas. "Nah sekarang aku akan pergi. Marilah Pudak Wangi. Sebaiknya kau minta diri pada Mahesa Jenar."Wajah Rara Wilis segera berubah menjadi merah. Ia mencoba tersenyum, tetapi alangkah sulitnya. Dengan terpaksa ia berkata, "Selamat tinggal tuan, aku mohon diri untuk mengikuti kakek mencari pusaka yang hilang."Mendengar kata cucunya segera Pandan Alas membetulkan, "Eh Mahesa Jenar adalah murid sahabatku. Kenapa kaupanggil dengan sebutan tuan? kau sekarang adalah muridku. Panggil dengan sebutan yang lebih akrab sebagai dua murid dari dua orang sahabat."Kembali wajah Rara Wilis kemerahan. tetapi terpaksa ia berkata, "Aku mohon diri kakang, aku akan menyertai guru.""Begitulah panggilan seorang sahabat," kata Pandan Alas sambil tertawa nyaring. Sementara itu terdengar Mahesa Jenar menjawab, "mudah-mudahan semuanya selamat, yang pergi dan yang ditinggalkan.""Baiklah Mahesa Jenar," sahut Pandan Alas. "Lekaslah mandi. Aku akan berangkat. Mungkin untuk waktu yang agak lama kita tidak bertemu. Selamat tinggal."Sesudah mengucapkan kata-kata itu segera Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis yang kemudian bernama Pudak Wangi itu pergi meninggalkan Mahesa Jenar dan berjalan perlahan-lahan menyusup pepohonan. Mahesa Jenar berdiri tegak seperti patung mengawasi mereka berdua. Pikirannya tiba-tiba menjadi risau. Ia tidak tahu kenapa hatinya bergetar ketika mendengar Pandan Alas mengatakan bahwa mungkin untuk waktu yang lama mereka tidak akan tadi, ketika ia melihat Pandan Alas itu berangkat untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang, ia tidak merasakan perasaan seperti pada saat beberapa saat kemudian Mahesa Jenar seperti orang sadar dari mimpi. Kembali ia turun ke mata air untuk mandi. Tetapi bagaimanapun terasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu ketentraman Wilis meskipun sudah berpakaian seperti seorang pemuda, namun wajah itu selalu mondar-mandir saja di dalam itulah maka setelah ia mandi dan kembali ke rumah sahabatnya, ia tampak agak lain dari biasanya. Tetapi ia selalu berusaha untuk menyembunyikan hari kemudian, Mahesa Jenar merasa agak kurang enak untuk tinggal berdiam diri di rumah sahabatnya itu. Bagaimanapun ia merasa turut bertanggung jawab pula atas hilangnya pusaka-pusaka Demak yang telah dengan susah payah diketemukan dan direbut dari tangan Sima Rodra. Karena itu, meskipun ia tahu pasti bahwa yang berhasil merampas kedua pusaka itu, termasuk angkatan gurunya atau setidak-tidaknya mempunyai kesaktian yang setingkat dengan gurunya, serta Ki Ageng, namun adalah kewajibannya pula untuk mencoba-coba menemukannya Jenar memutuskan menemui Ki Gajah Sora untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan apabila mungkin untuk mendapatkan kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah ketika pada suatu pagi, Mahesa Jenar telah bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah sayup-sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan irama dara muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa ada pejabat penting dari Istana Demak yang datang ke Daerah Perdikan itu kemudian diulang dan diulang oleh pemukul-pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar semakin lama semakin tanda-tanda itu, Gajah Sora tampak agak sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun tampak membayang di wajahnya perasaan yang hambar dan kurang tenang. Meskipun ia belum tahu akan kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat firasat bahwa sesuatu yang kurang baik akan yang masih belum sembuh benar, segera diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya telah hadir pula setelah mendengar tanda-tanda Jenar yang mengerti juga akan tanda-tanda itu menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan- perbedaan pendapat dengan beberapa pejabat sekarang di suatu tempat yang jauh dari istana, pejabat itu datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah setelah menimbang masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar minta kepada Gajah Sora untuk diberi kesempatan tidak usah menemui mereka dan kehadiran tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa Mahesa Jenar sedang berada di Banyubiru. Ia akan berada di dalam ruangan tengah sambil mendengarkan apakah kepentingan para pejabat itu datang ke daerah perdikan kemudian terdengarlah di kejauhan suara sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datng adalah pejabat-pejabat sangkakala itu, Gajah Sora menjadi bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula untuk menyatakan kesediaan kepala perdikan Banyubiru menerima tamu-tamu penting dari itu beberapa orang telah siap di atas kuda untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki Ageng memberikan tanda-tanda, segera mereka pun berangkat. Mahesa Jenar yang menanti kedatangan tamu-tamu itu dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah. Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun yang terjadi, ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi sekarang, pada saat ia masih berada di tempat itu, dapatkah kiranya ia berdiam diri? Sebab dalam tangkapan Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti ada sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan Sabuk saat kemudian, sebelah punggung Mahesa Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di ingin tahu Mahesa Jenar sedemikian besar sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding, ia mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari Demak itu, dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini dianggap sedemikian pentingnya sehingga telah ditunjuk untuk memimpin rombongan ini, seorang perwira dari pengawal bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Ia sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah satu kapal dalam armada yang dipimpin langsung oleh Adipati Unus saat itu Gajah Sora, yang masih sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam penyerangan itu, beruntung terpilih menjadi anggota pengawal Sabrang Lor. Karena pemuda itu telah menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora melihat, siapakah yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan. Mereka telah saling berkenalan dan telah mengetahui kebesaran dari Istana Demak itu segera dipersilahkan naik ke pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru. Di belakang, Nyi Ageng pun telah bekerja keras menyiapkan suguhan yang dianggapnya pantas, untuk menjamu tamu-tamu dari mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, serta setelah mereka yang datang mendapat jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih menyampaikan keperluannya datang ke Perdikan Banyubiru. Meskipun wajahnya tampak keras, tetapi karena umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha untuk berhati-hati.“Anakmas Gajah Sora... izinkanlah aku menyampaikan pesan Baginda untuk Anakmas kepala daerah Perdikan Banyubiru. Pertama Baginda Sultan Demak menyampaikan salam taklim untuk Anakmas, serta doa mudah-mudahan pemerintahan perdikan Banyubiru yang didasarkan atas ketetapan sejak Baginda Brawijaya Pamungkas ini dapat berlangsung dengan sempurna, serta keputusan Baginda untuk tetap menghormati prasasti ketetapan tanah perdikan ini, kata Arya Palindih.” “Adapun yang kedua, lanjut Arya Palindih, Baginda Sultan Demak mengucap syukur ke hadirat Allah SWT bahwa Anakmas dari Banyubiru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak penyerangan kedaerah Utara, yang pada saat itu Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka istana, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”Mendengar kata-kata itu, yang diucapkannya dengan jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah- olah tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora segera berubah, serta pandangannya menjadi suram. Meskipun hal itu telah diduganya, namun bagaimanapun darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat dengan agak gemetar serta berusaha untuk menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab, “Paman Arya Palindih yang aku hormati.... Pertama-tama aku merasa sangat berbesar hati atas kesudian Paman serta atas kemurahan hati Baginda mengutus sebuah rombongan untuk datang ke daerah yang terpencil ini. Adapun yang kedua, aku menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya pula atas perhatian Baginda kepada hasil yang telah aku dapatkan, yaitu menyelamatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”Sampai sekian kata-kata Gajah Sora terputus. Hatinya menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk menguasai dirinya ia melanjutkan, “Tetapi Paman, sebaiknya aku berkata terus terang, bahwa mungkin karena kesalahanku, karena aku tidak mampu menjaga keselamatan kedua pusaka itu, maka beberapa hari yang lalu kedua pusaka itu hilang kembali.”Mendengar keterangan Gajah Sora itu, Arya Palindih terkejut, sehingga duduknya tergeser ke belakang. Dengan mata yang mengandung seribu satu macam pertanyaan, ia memandangi Gajah Sora tanpa Sora merasakan bahwa sesuatu bergolak di dalam dada Arya Palindih, karena itu ia merasa perlu untuk memberikan penjelasan atas hilangnya kedua pusaka dengan sedikit bergetar Gajah Sora menceriterakan bagaimana ia berhasil mendapatkan kedua keris itu di Gunung Tidar, sampai kedua keris itu hilang dicuri orang, dengan kesaksian orang-orang yang pada saat itu masih belum sembuh benar, seperti Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya. Tetapi sudah tentu Gajah Sora sama sekali tak menyebut-nyebut nama Mahesa Jenar atau yang lebih terkenal dengan sebutan Rangga Gajah Sora telah mengatakan semuanya yang terjadi, tampaknya Arya Palindih masih memancarkan rasa kesangsian. Beberapa kali ia memandang berkeliling. Kepada Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Sawungrana dan kepada para pengiringnya, seolah-olah ia minta penjelasan yang lebih banyak lagi, serta minta pertimbangan- setelah beberapa saat mereka berdiam diri, berkatalah Arya Palindih, “Anakmas Gajah Sora, aku tahu betapa besar kemampuan Anakmas. Anakmas adalah salah seorang kepercayaan almarhum Pangeran Sabrang Lor yang juga disebut Adipati Unus pada usia yang masih sangat muda. Sekarang Anakmas telah berusia dua kali lipat. Aku percaya bahwa dalam usia yang sekarang ini Anakmas telah merupakan seorang yang maha perkasa, ditambah lagi aku dengar laskar Banyubiru adalah laskar yang teguh dan perwira. Masih adakah gelombang-gelombang perampok yang hanya dapat mencegat pedagang-pedagang yang tak berdaya itu, berani mendekati Banyubiru? Apalagi memasuki rumah kepala daerah perdikan?”“Paman Arya Palindih..., Apa yang Paman katakan adalah benar. Tetapi yang datang ke Banyubiru bukanlah rombongan pencuri-pencuri kerdil yang hanya mampu membongkar dinding. Tidakkah Paman pernah mendengar nama-nama seperti Lawa Ijo, Sima Rodra, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan dan yang lebih terkenal lagi Pasingsingan, Sima Rodra tua dari Lodaya, Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme...?”Mereka itu semua telah beramai-ramai datang ke Banyubiru seperti orang yang dahulu- mendahului, seolah-olah kedua pusaka itu dapat mereka miliki dengan seenaknya saja. Kami telah berusaha sekuat tenaga kami, sampai beberapa orang kami luka parah, bahkan anakku sendiri Palindih menarik nafas dalam-dalam. Dahinya tampak berkerut-kerut. Meskipun usianya telah melebihi setengah abad, namun ia masih tampak segar dan perkasa. Beberapa rambut putih yang tumbuh di pelipisnya, tampak menambah wibawanya. Beberapa saat lamanya ia tidak berkata apa-apa. Ia sedang mencoba memahami keterangan-keterangan Gajah Sora, yang bagaimanapun sebenarnya agak janggal terdengarlah ia berkata, “Aneh. Aneh sekali. Kenapa mereka baru akan memperebutkan pusaka-pusaka itu setelah berada di tangan Anakmas. Kenapa mereka tidak merebutnya selagi pusaka-pusaka itu masih berada di tangan Sima Rodra Gunung Tidar.”Gajah Sora mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa Arya Palindih agak membimbangkan keterangannya. Karena itu ia melanjutkan, “Adakah Paman dapat membayangkan kekuatan raksasa yang mendatangi Banyubiru bersama-sama...?, tentang keheranan Paman, kenapa baru setelah pusaka-pusaka itu berada di Banyubiru, mereka beramai-ramai memperebutkan itu sama sekali tak aku ketahui. Itu adalah soal mereka, tetapi mungkin sebelum itu tak seorangpun yang mengetahui, bahwa kedua pusaka itu berada di tangan Sima Rodra. Baru setelah kedua pusaka itu lenyap dari tangannya, ia sengaja meniup-niupkan berita bahwa pusaka-pusaka itu berada di Banyubiru.”BAGUS Handaka mendengarkan setiap kata gurunya dengan saksama. Sakit-sakitnya di seluruh tubuhnya sudah tidak dirasakannya lagi. Sementara itu angin malam bertiup lemah, dan bintang-bintang di langit telah mengubah susunannya. bintang Waluku telah jauh condong di barat, sedang bintang Bima Sakti telah mulai mengabur pada kedua ujungnya, jauh di selatan dan utara. "Bagus Handaka…." Mana
Jilid 10“Mereka menuju kemari” desis Gajah Sora.“Ya, mereka menuju kemari” ulang Mahesa Jenar.“Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?” Gajah Sora ingin mendapat kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.“Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka” Kata Mahesa Jenar.“Baiklah. Marilah kita bersembunyi” jawab Gajah itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk berlindung, di bawah semak yang lagi mereka selesai menempatkan diri, muncullah dari balik-balik padas beberapa orang berkuda. Meskipun gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang mereka dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang berkuda di muka goa mereka menghentikan kuda mereka, dan langsung dengan suara lantang terdengar salah seorang dari mereka berteriak,“Hei Sima Rodra, sudah gilakah engkau. Kau biarkan semua penjaga-penjagamu tidur?”Suara itu melontar memukul dinding-dinding padas dan dipantulkan kembali berturut- turut beberapa kali. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu berteriak-teriak memanggil, tetapi juga tak pernah ada jawaban. Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak.“Ada sesuatu yang tidak beres. Hai salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang,” kata salah seorang diantara orang-orang itu kepada Ki Lurah, jawab salah satu diantaranya. Dan sejenak kemudian terdengar langkah seekor kuda itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung dapat menyaksikan orang-orang berkuda itu dengan jelas. Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah tegap, meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya tampak panjang meruncing, dan masing-masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya hampir seperti dua orang Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, Itulah Sepasang Uling dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua, yang disebut Uling Putih, sedang yang lain adalah Uling Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah mereka yang bernama Uling Putih dan Uling Kuning. Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam akibat terbunuhnya salah seorang kemudian datanglah beberapa orang berlari-lari ke arah goa itu adalah anak buah Sima Rodra yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah seorang diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh kuat seperti seekor orang hutan, maju mendekati sepasang Uling yang masih saja duduk di atas kami untuk Sepasang Uling dari Rawa Pening, kakak-beradik Uling itu sama sekali tak memperhatikan sapa itu. Bahkan salah seorang dari mereka membentak, “Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan liar itu?”Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga hatinya. “Buat apa kau cari mereka?” Jawabnya”Jangan banyak cakap. Cari mereka” bentak Uling Sakayon mendengus, “Hemm.... Kau kira kau bisa memerintah aku...?” “Tanyakan dengan baik, aku akan menyuruh salah seorang untuk memanggilnya”Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. “Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan lehermu” Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan terdengar ia tertawa. “Kau jangan main sekarat di sini. Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak ada, akulah yang harus menyelesaikan semua soal” Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah terbakar daripada kakaknya. Hampir saja ia memutar cemetinya kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun telah pula menarik pedang pendek tetapi besar seperti tubuhnya.“Jangan layani dia, Kuning” kata Uling Putih, sambil menarik kekang kudanya dan melangkah beberapa langkah maju.“Baiklah Sakayon... aku tunduk kepada peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami- Istri Sima Rodra bahwa aku ingin menemui mereka, kata Uling Kuning”Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab, “Itulah namanya tamu yang tahu diri”Lalu katanya kepada salah seorang anak buahnya, “Panggilkan Ki Lurah. Katakan bahwa kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya”Orang yang disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa. Tetapi sebentar kemudian ia telah muncul kembali dengan nafas yang terengah-engah.“Kakang Sakayon..., Ki Lurah tidak ada di dalam goa. Bahkan ruang penyimpanan yang tidak pernah terbuka itu pun tampaknya telah dibuka dengan paksa” katanya gugup.“Hei...!” teriak Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia meloncat dengan tangkasnya masuk ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti termasuk orang yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah kepercayaan Suami-Istri Sima Rodra. Sakayon telah keluar dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan hatinya. Sejenak kemudian tanpa berkata apapun ia berlari kesamping goa dimana Sima Rodra tadi telah mempergunakan pintu rahasia ini. Pasti terjadi sesuatu atas mereka, kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.“Mereka telah lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan dapat menemui mereka. Sedangkan kedua pusaka yang disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang mengambil Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan pintu,” katanya dengan nafas yang memburu.“Keris itu lenyap...?” tanya Uling Putih. Suaranya pun menunjukkan suatu kecemasan yang sangat. “Kalau kata-katanya betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas dalam pertemuan kami nanti, katanya”Uling Kuning yang lebih kasar itu tidak berkata apapun, tetapi segera ia meloncat turun dari kudanya dan langsung masuk goa. ”Kau tidak percaya?,” teriak Sakayon, “Baiklah, lihatlah sendiri.”Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan adiknya memasuki goa seorang diri. Sebab mungkin ada hal-hal yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun dan cepat- cepat menyusul memasuki goa suasana menjadi sepi. Masing-masing diam sambil menunggu kakak-beradik itu keluar dari mulut itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke mulut goa, berbisiklah Gajah Sora, “Tuan, bukankah kita dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir dari kandang macan ini? “Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan demikian, sehingga ia segera menyetujuinya. “Baik Tuan, tetapi jalan mana yang akan kita lalui?”Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima Rodra ini? tanya Gajah jawab Mahesa Jenar, Aku memasuki halaman ini dengan memanjat dinding Gajah Sora tersenyum. “Akh, Tuan kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui lebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan lewati kalau bahaya datang. Atau setidaknya Tuan telah memiliki pengetahuan tentang itu,” katanya. Mahesa Jenar tersenyum pula. “Tuan benar. Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah sekarang kita dapat melewati gerbang?” sahutnya.“Tentu,” jawab Gajah Sora, “Orang-orang yang menjaganya sedang berkumpul di sini. Kalau demikian marilah kita pergi” sahut Mahesa Jenar sebentar kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan hati-hati sekali menyelinap dari satu rumpun ke rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang lain. Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati gerbang yang menghadap ke utara. Gerbang ini dalam keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh orang-orang kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu sekarang sedang berkumpul di depan goa untuk dapat mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu. Maka dengan tidak banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang yang menganga tak terjaga. Setelah itu, setelah mereka berada di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak- semak dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil jalan menyusup rumpun-rumpun liar dan menjauhi jalan yang semestinya. Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir remuk itu, mereka harus dengan hati-hati sekali menuruni tebing yang curam serta menloncati padas-padas yang rumpil. Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai dasar kecekatan yang cukup, sehingga meskipun dengan susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat mencapai dataran di sebelah bukit kecil demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan mereka lalui tidak lagi sulit, mereka mendengar lamat-lamat derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar, yang semakin lama terdengar semakin jauh. Rupanya sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika sudah yakin bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui, serta sepasang keris itu tidak lagi berada di tangan mereka, mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu lama di Bukit suara derap kuda itu lenyap, kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar. Untuk menghilangkah jejak, mereka tidak langsung berjalan ke timur, tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat untuk selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang baru saja berkenalan itu menjadi begitu akrab, seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun. Dalam banyak hal mereka selalu bersamaan pendapat dan beberapa lama mereka berjalan, serta mereka sudah yakin benar bahwa orang- orang Sima Rodra tidak lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk beristirahat, untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka dicarilah tempat yang sesuai untuk sekadar melepaskan demikian mereka duduk bersandar di pepohonan, karena lelah dan tegang yang dialaminya beberapa saat yang lalu, segera mereka jatuh nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali tak merasa bahwa malam telah lama lewat, dan matahari telah tinggi di cahaya matahari itu, menerobos daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua orang yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah mereka beristirahat benar-benar, meskipun hanya sebentar, tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih saja terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah sanggup untuk berdiri tegak dan melangkah dengan tangkas, berkat daya tahan tubuh mereka yang cukup mereka mencuci muka serta sekadar minum air dari sumber yang ditemukannya di dekat mereka beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-mula mereka akan singgah ke Pangrantunan untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan maksud perjalanan pulang itu, barulah mereka mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya seperti berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak di sana- sini. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka saling memandang, mereka menjadi tertawa samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa kagum satu sama lain. Sebab dalam pertempuran dan perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh mereka dapat disakiti, apalagi sampai biru-biru dan bengkak-bengkakPerasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar juga menjadi geli bercampur Ki Ageng Sora Dipayana begitu yakin bahwa cara perkenalan yang aneh itu tidak akan membawa akibat yang dapat berbahaya. Sebab rupanya, dengan memberi banyak petunjuk kepada Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana memang bermaksud untuk mempertemukannya dengan Gajah Sora yang kebetulan juga sedang disuruhnya mengambil kedua pusaka itu, tanpa memberitahukan lebih wajah-wajah yang demikian, apabila mereka singgah di Pangrantunan, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Baik kepada mereka sendiri maupun kepada Ki Ageng Sora Dipayana yang menyamar sebagai seorang petani miskin. Karena itu mereka berketetapan hati untuk melangsungkan saja perjalanan mereka ke Banyu malam berikutnya mereka bermalam pula di tengah-tengah hutan. Sengaja mereka tidak menuruti jalan ke Bergota karena mereka merasa bahwa barang-barang yang mereka bawa adalah bukan barang biasa, yang apabila sampai diketahui orang akan dapat banyak menimbulkan juga malam kemarin, karena lelah dan mereka belum pulih seluruhnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar demikian meletakkan tubuhnya, demikian mereka mendengkur nyenyak sekali. Tetapi malam ini ternyata tidak setenteram malam kemarin. Belum lagi mereka melampaui tengah malam, mendadak terasa tubuh mereka dikenai sesuatu. Gajah Sora dan Mahesa Jenar adalah orang-orang yang pernah mengalami latihan-latihan jasmaniah maupun kesiagaan batin. Maka demikian tubuh mereka kena sentuhan yang tidak wajar, demikian mereka meloncat berdiri dan dalam sekejap mereka telah pada saatnya, terdengarlah gemerisik dedaunan disamping mereka, dan dengan suatu auman yang dahsyat meloncatlah seekor harimau hitam yang besarnya bukan kepalang, menerkam Mahesa Jenar. Untunglah bahwa tubuh Mahesa Jenar telah agak terasa baik, sehingga dengan menjatuhkan diri ia bebas dari terkaman harimau hitam itu. Bahkan tiba-tiba ia menjadi marah sekali atas gangguan yang mendadak itu ia tidak menanti lebih lama lagi. Saat itu pula segera ia mengatur jalan pernafasan menurut ajaran gurunya, menyilangkan tangan kirinya di muka dada serta mengangkat tangan kanannya, satu kakinya ditekuk ke depan. Dan dengan menggeram penuh kemarahan, ia meloncat ke arah harimau yang baru saja menjejakkan kakinya keatas tanah itu, berbareng dengan mengayunkan pukulan Sasra Birawa. Tetapi ketika tangannya sudah hampir menyentuh tubuh harimau itu, tiba-tiba dengan gerakan aneh harimau itu berguling-guling tangkas sekali sehingga pukulan Mahesa Jenar yang dilambari kekuatan ilmu Sasra Birawa itu tidak mengenai sasarannya. Dengan demikian ia terseret oleh kekuatannya sendiri sehingga hampir saja ia kehilangan bahwa dengan cepat Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali sehingga ia tidak jatuh tertelungkup. Tetapi pada saat yang demikian, pada saat dimana Mahesa Jenar masih belum dapat menguasai keseimbangan sepenuhnya, harimau itu telah siap merobek-robeknya. Untunglah bahwa kawan seperjalanannya bukan pula orang kebanyakan. Ia menyaksikan kegagalan Mahesa Jenar dengan penuh keheranan. Heran atas sikap seekor harimau yang dengan tangkas dapat membebaskan dirinya dari pukulan maut Mahesa Jenar, bahkan harimau itu telah siap pula untuk itu Gajah Sora tidak mau kehilangan waktu. Cepat seperti kilat ia meloncat sambil merentangkan tangannya, yang sesaat kemudian telah menyilang dadanya. Dengan suatu gerakan melingkar lewat atas kepalanya ia menghantam harimau itu dengan dahsyatnya. Bahkan Gajah Sora telah mempergunakan ilmunya Lebur serangan yang tiba-tiba datang itu, harimau hitam biasa meloncat menghindari pukulan Lebur Saketi yang tidak pula kalah dahsyatnya. Juga kali ini Gajah Sora tak berhasil sementara itu, Mahesa Jenar telah dapat menguasai diri sepenuhnya. Sehingga demikian ia melihat harimau itu berhasil menghindari pukulah Gajah Sora, demikian Mahesa Jenar mengulangi serangannya dengan ilmunya Sasra Birawa. Kali ini harimau hitam yang sedang mengelak itu tidak sempat berbuat apa-apa. Tangan Mahesa Jenar berhasil mengenai tengkuknya. Harimau itu meloncat tinggi-tinggi dan mengaum hebat sekali. Gajah Sora, yang menjadi marah pula, tidak mau membiarkan harimau itu, karenanya sebelum harimau itu jatuh di tanah ia telah mengulangi pula serangannya dengan aji Lebur dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali. Harimau hitam itu terpental beberapa alangkah terkejut mereka berdua, ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar menyaksikan harimau itu jatuh berguling-guling dan kemudian menggeliat dan seperti melenting ia meloncat dan bangun berdiri. Ya, berdiri di atas dua kaki seperti manusia berdiri. Akhirnya, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sempat menyaksikan bahwa yang berdiri di hadapannya sama sekali bukanlah seekor harimau hitam, tetapi benar- benar seorang manusia yang berkerudung kulit harimau berwarna itu darah mereka bergolak itu, yang berdiri di hadapannya, pasti bukan manusia biasa, sebab ia telah dapat membebaskan dirinya dari akibat pukulan-pukulan Lebur Sakethi dan sekaligus Sasra yang berkerudung kulit harimau hitam itu berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya gagah besar melampaui ukuran yang biasa. Jambang dan janggutnya tidaklah begitu lebat, tetapi hampir memenuhi seluruh mukanya. Matanya tampak bercahaya di dalam gelap, benar-benar seperti mata seekor cahaya bintang yang samar-samar, Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berpandangan tajam itu dapat menyaksikan bahwa wajah orang itu pastilah bengis dan kemudian terdengarlah ia menggeram perlahan-lahan, lalu terdengarlah suaranya dalam sekali.“Pukulan kalian luar biasa dahsyatnya. Terasa betapa sakit dan nyerinya. Karena itu, kau telah berbuat kesalahan dalam dua hal. Mengambil kedua pusaka itu dan menyakiti tubuhku. Akibatnya adalah dua hal pula, kembalikan keris itu dan aku akan membalas pukulan kalian. Kalau kalian mati karena pukulanku bukanlah salahku.”Mendengar kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar menjadi gemetar karena marah. Biarpun orang itu tidak dapat dibunuhnya karena kesaktian andalan mereka yang terakhir, tetapi mereka bukanlah anak-anak kecil yang harus menerima saja hukuman dari orang tuanya. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera menyiagakan diri untuk bersama- sama menghadapi bahaya yang besar, dan untuk taruhan yang besar pula, yaitu kedua keris Pusaka Demak dan nyawa pertimbangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar, tidaklah mereka bersalah apabila mereka terpaksa mempergunakan keris-keris yang sedang mereka pertahankan mati- matian itu. Karena itu, tangan Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera melekat pada ukiran keris yang mereka bawa gelagat itu, orang yang berkerudung kulit harimau itu berdesis, “Hem.., kalian akan mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu untuk melawan aku. Bagus. Memang tak seorangpun di dunia ini yang akan dapat tetap hidup meskipun hanya tergores seujung rambut saja. Tetapi aku harus meyakinkan kalian, bahwa kalian tak akan dapat menyentuh tubuhku dengan kedua pusaka itu”Habis mengucapkan kata-kata itu, orang itu segera bersiap untuk menyerang Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bagaimanapun beraninya Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati mereka bergetar juga. Tergetar karena menghadapi bahaya yang mungkin akan dapat menggagalkan tugas mereka untuk menyelamatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk kemudian seperti angin menyambar, orang itu mulai dengan serangannya. Alangkah dahsyatnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera memencarkan diri, dan tak ada pilihan lain kecuali mencabut kedua pusaka yang mereka bawa yang kemudian sejenak diungkulkan di atas kepala masing-masing. Kiai Nagasasra berbentuk seekor naga bersisik emas, yang memancarkan cahaya kuning menyilaukan, sedang Kiai Sabuk Inten yang ber-luk 11 tampak berkilat-kilat memancarkan cahaya yang Sora dan Mahesa Jenar meskipun tidak dapat menyamai kecepatan gerak lawannya tetapi mereka bukan pula anak-anak ingusan. Apalagi di tangan mereka sekarang bercahaya-cahaya pusaka yang tiada taranya. Karena itu orang yang berkerudung kulit harimau itupun tidak berani merendahkan. Segera mereka bertiga terlibat dalam satu pertempuran yang luar biasa sebuah bayangan hitam menyelinap menyusup dan kemudian meloncati gumpalan-gumpalan cahaya kuning yang silau dan cahaya biru yang gemerlapan. Itulah cahaya dari kedua pusaka itu di tangan orang-orang yang hampir sempurna olah ternyata apa yang dikatakan orang itu benar-benar terjadi. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang sudah bekerja mati-matian, sama sekali tak berhasil menyentuh kulit lawannya dengan senjata-senjatanya. Hanya untunglah bahwa karena kedua pusaka itu pula, lawan mereka belum juga berhasil dapat mengenai tubuh mereka. Kalau saja Gajah Sora atau Mahesa Jenar sampai tersinggung oleh tangan hantu itu, pastilah kulit mereka akan ketika pertempuran itu sudah berlangsung beberapa saat, dan masih saja Gajah Sora dan Mahesa Jenar memberikan perlawanan yang sengit, orang yang berkerudung kulit harimau itu tidak sabar lagi. Ia meloncat beberapa langkah ke belakang, dan dengan gerak yang menakutkan ia menggetarkan tubuhnya sambil mengaum mengerikan. Sesaat kemudian ia telah siap untuk mengadakan serangan-serangan terakhir yang Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak mengerti arti dari gerakan-gerakan itu, mereka yakin bahwa saat yang menentukan segera akan Sora dan Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri kira-kira berjarak 3 sampai 4 langkah, yang dapat dicapainya dalam satu loncatan. Mereka sudah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan yang terakhir. Kalau mereka berdua harus mati, maka setan itu pun harus dapat dilukainya pula dengan salah satu dari kedua keris itu, sehingga ia pun pasti akan mati yang berkerudung kulit harimau itu setelah berhenti mengaum segera bersikap seperti akan menerkam. Tangannya terjulur ke depan, sedangkan jari-jarinya dikembangkan. Melihat sikap itu, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar teringat kepada istri Sima Rodra yang bertempur dengan cara yang serupa. Tetapi orang ini ternyata mempunyai ketinggian ilmu yang kemudian, hampir pada saat orang itu meloncati Gajah Sora, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang nyaring meskipun tidak terlalu keras. Kemudian disusul gemerisik daun-daun yang tergetar karena suara tertawa itu. Alangkah besar tenaga yang dilontarkan lewat suara yang tidak begitu keras itu. Mendengar suara itu, orang berkerudung kulit harimau itu tampak terkejut bukan main. Dan keadaan itu sangat mengejutkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar pula. Mereka telah terkejut karena getaran suara itu, disusul oleh sikap orang yang berkerudung berkerudung itu kemudian menegakkan kepalanya. Ia menggeram hebat menunjukkan kemarahannya. Kemudian terdengar ia berkata, “Hem..., apa kepentinganmu dengan mengganggu pekerjaanku?”Dan terdengarlah jawaban yang lunak halus hampir seperti suara perempuan. “Terhadap anak-anak itu kau sudah akan mempergunakan ajimu Macan Liwung?” katanya.“Apa pedulimu?” jawab orang itu.“Banyak kepentinganku atasnya, mereka adalah murid-murid sahabatku. Dan bukankah persoalan itu adalah persoalan anak-anak. Sebaiknya orang tua tidak usah ikut campur” jawab suara itu.“Sebaiknya kau mengurus kepentinganmu sendiri” sahut orang berkerudung itu. “Ini juga termasuk kepentinganku” jawab suara itu pula.“Aku tidak pedulikan kau” potong orang berkerudung itu.“Tetapi aku mempedulikan kau. Kalau kau memaksa pula untuk mencampuri perkara anak-anak. Baiklah kita yang tua-tua ini membuka permainan sendiri. Sedang anak-anak biarlah mereka belajar menyelesaikan masalah mereka.”“Gila Selamanya kau gila. Kau berharap dapat mengalahkan aku sekarang?”“Tidak. Aku tahu bahwa aku tak akan mengalahkan kau. Tetapi setidak-tidaknya kau juga tidak akan dapat mengalahkan aku. Dan permainan itu akan memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk berlindung pada bapak-bapaknya. Karena ada seorang bapak telah ikut campur pula” jawab orang orang asing yang lunak dan mirip suara perempuan itu terang berasal dari belakang Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun demikian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak berani menoleh ke belakang. Mereka tahu bahwa orang itu pasti tidak akan bermaksud jahat, sebab kalau demikian sudah sejak tadi ia dapat membunuhnya dari arah punggung. Apalagi ketika mereka berdua mendengar pembiaraannya dengan orang yang berkerudung itu, hati mereka seperti disiram meskipun demikian mereka hampir tak berani berkedip. Sebab setiap saat orang yang berkerudung itu dapat meloncatinya dan merebut pusaka-pusaka itu, yang barangkali malahan dapat dipergunakan untuk melawan orang yang berada di belakangnya itu. Sebentar kemudian kembali orang berkerudung itu menggeram. “Jangan coba halangi aku” itu terjadilah suatu hal diluar daya pengamatan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun mereka berdua termasuk orang-orang yang disegani karena kesaktiannya, tetapi mereka samasekali tidak dapat menangkap gerakan orang berkerudung itu. Apa yang dilihatnya hanyalah seperti pancaran kilat yang membelah langit, sedemikian tiba- tiba dan berlangsung cepat berkerudung itu tahu-tahu rasanya sudah melekat di pelupuk mata Gajah Sora. Kemudian segera disusul dengan peristiwa yang sama cepatnya. Sebuah benturan yang luar biasa dahsyat terjadi di hadapan mata Gajah Sora dan Mahesa Jenar tanpa dapat diketahui yang mereka ketahui kemudian adalah orang berkerudung itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang berperawakan kecil. Sikapnya pun mirip dengan suaranya. Sama sekali tidak gagah dan garang, tetapi justru mirip sikap seorang itu berdiri dengan tubuh masih bergetar diantara Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan dihadapannya berdiri orang berkerudung itu, yang juga tampak sedang berusaha menguasai keseimbangannya.“Kau benar-benar akan mencampuri urusanku?” bentak orang berkerudung itu. “Sudah aku katakan sejak tadi” jawab orang yang mirip dengan perempuan tampaklah orang berkerudung itu memandangi berganti-ganti Gajah Sora, Mahesa Jenar dan orang asing itu. Mukanya yang hampir seluruhnya ditumbuhi rambut yang jarang-jarang itu tampak berkerut. Lalu katanya dengan suara parau, “Baiklah, aku tidak dapat melawan kalian bertiga. Tetapi jangan mengira bahwa aku telah melepaskan kepentinganku atas kedua anak-anak yang bermain-main dengan pusaka-pusaka itu”Setelah berkata demikian, segera ia meloncat tak ubahnya seekor harimau dan kemudian menyusup lenyap di gerumbul orang berkerudung itu tidak nampak lagi, berkatalah orang asing itu kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Guru kalian ternyata kurang hati-hati. Untunglah aku melihat harimau itu, sedang kalian tidur nyenyak. Sehingga aku terpaksa membangunkan kalian dengan batu. Seharusnya guru kalian tidak melepaskan kalian tanpa Sora dan Mahesa Jenar kemudian dengan membungkuk hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan dengan agak berdebar-debar Gajah Sora mencoba bertanya, “Bolehkan aku mengetahui, siapakah Tuan?” Orang itu tersenyum. Tidaklah gurumu pernah berceritera tentang aku? Sora mengernyitkan alisnya sambil mengingat-ingat ceritera gurunya tentang sahabat-sahabatnya. Mahesa Jenar juga mencoba untuk menebak-nebak siapakah kiranya yang berdiri dihadapannya itu. Tiba-tiba mereka hampir bersamaan teringat kepada ceritera guru sakti yang menurut istilah guru mereka, sama sekali tampangnya tak berarti. Mungkin orang inilah yang dimaksud. Maka dengan hampir bersamaan pula mereka mengucapkan sebuah nama, “Tuankah yang bergelar Titis Anganten dari Banyuwangi?”Kembali orang itu tersenyum. “Nah ternyata kalian kenal aku. Guru-gurumu pasti pernah berkata tentang orang yang tampangnya tak berarti” jawabnya terdengarlah ia tertawa nyaring.“Aku dengar Kakang Pengging Sepuh telah wafat” katanya tiba-tiba kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar tertegun. Rupanya dengan tepat orang itu mengetahui bahwa Macan Ireng itu berada di Sora segera menjawab, “Mungkin Tuan, sebab Guru tak pernah menyebutkan itu.”“Mungkin” sahut orang yang ternyata adalah Titis Anganten. “Sebab kedatangannya belum seberapa lama. Ketika aku ketahui bahwa alas Lodaya kosong, segera aku pergi ke Gunung Tidar. Ketahuilah bahwa orang itulah yang sebenarnya bernama Sima Rodra. Ia adalah ayah dari isteri Sima Rodra yang sekarang. Dan terkaanku adalah tepat. Ia pergi mengunjungi anak perempuannya di Gunung Tidar. Beberapa lama aku terpaksa mengeram mengawasinya. Jadi aku dapat melihat seluruhnya yang terjadi di muka goa Sima Rodra. Aku dapat melihat kedatangan kalian dari arah yang berbeda. Dan aku terpaksa membantu ketajaman sirep yang kau sebarkan, sebab Sima Rodra itupun telah mencoba melawannya. Dan karena kami lakukan berdua, maka sirep kamipun menang. Untunglah bahwa Sima Rodra berdua itu berlari ke dalam pintu rahasia, sehingga ayahnya memerlukan waktu untuk keluar melalui lobang yang lain sehingga ia baru dapat menyusul kalian sekarang ini. Dan agaknya karena kedatangannya itu ingin dirahasiakan, dan karena kepercayaannya kepada anaknya, ia tidak merasa perlu untuk membantu” lanjut Titis menjadi jelas bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Ternyata ketika mereka tertidur nyenyak, mereka telah dibangunkan oleh Titis Anganten. Itulah sebabnya mereka merasa seperti dilempar dengan batu. Dan apa yang mereka hasilkan sekarang, sebagian adalah karena jasa orang itu itu, sekali lagi mereka mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. “Tetapi... sampai sekarang aku masih belum mengenal nama-nama kalian. Siapakah namamu anak muda?” tanya Titis Anganten kepada Mahesa Jenar.“Namaku Mahesa Jenar, Tuan. Sebagai seorang prajurit aku disebut Ronggo Tohjaya” jawab Mahesa Anganten mengangguk-angguk. “Sudah lama sekali aku tak bertemu dengan Kakang Pengging Sepuh, sehingga aku belum mengenal nama murid-muridnya, Sedang apa yang kau lakukan terhadap lawan-lawanmu dengan Sasra Birawa yang terkenal itu, kau benar-benar mengingatkan aku kepada gurumu. Kelak kalau telah mengendap benar- benar dan dapat menguasai setiap saluran nafasmu dengan baik, maka dapat diharapkan bahwa kau setidak-tidaknya akan dapat menyamai gurumu. Hanya sayang bahwa gurumu itu tidak lagi berkesempatan menuntunmu lebih lama lagi, sehingga kau harus berjuang sendiri untuk mencapai kesempurnaan, kata Titis Anganten kepada Mahesa Titis Anganten bertanya kepada Gajah Sora, “Ilmumu Lebur Seketi ternyata sedikit lebih masak dari Mahesa Jenar. Siapakah namamu?”“Aku bernama Gajah Sora, Tuan” jawab Gajah Anganten mengernyitkan alisnya. “Namamu mirip dengan nama gurumu. Mungkin kau tidak saja muridnya. Menilik wajahmu yang mirip dengan wajah Kakang Sora, aku sejak tadi sudah mengira bahwa kau adalah anaknya” katanya kemudian.“Benar Tuan... aku adalah anaknya yang sulung” jawab Gajah Titis Anganten mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin karena gurumu yang bahkan ayahmu masih selalu dapat mendampingimu itulah maka ilmumu agak lebih masak sedikit dari Mahesa Jenar. Tetapi bagaimanapun aku telah dapat menyaksikan suatu pertunjukan yang luar biasa. Sasra Birawa beradu dengan Lebur Seketi. Dua macam ilmu yang tak ada bandingnya” pujian itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora agak canggung pula. “Nah sekarang sarungkan pusaka-pusaka itu” kata Titis Anganten lebih itu telah menyadarkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar bahwa sejak tadi kedua pusaka keramat itu masih saja digenggamnya erat-erat. Karena itu maka setelah diungkupkan di atas kepala masing-masing, keris itu kemudian disarungkan kembali.“Sekarang...,” kata Titis Anganten melanjutkan, “untuk sementara kalian akan aman. Macan Ireng itu pasti tidak akan mengganggumu lagi. Tetapi untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Sebab ilmunya yang dinamainya Macan Liwung itu tak kalah pula dahsyatnya. Mungkin ilmu itu masih belum diturunkan kepada anak atau menantunya. Tetapi dengan kejadian-kejadian ini tidak mustahil bahwa ia akan menurunkan ilmunya itu segera untuk mendapat tenaga-tenaga yang akan membantunya melawan angkatan tua dan kalian. Akibatnya, pastilah besar. Apalagi kalau Sima Rodra itu menghubungi sahabat-sahabatnya. Misalnya Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme”“Mungkin juga dengan Ki Pasingsingan dari Mentaok” sela Mahesa kata-kata Mahesa Jenar itu tampaklah Titis Anganten agak terkejut. Tetapi akhirnya ia menjawab juga, “Ya... Tuan, Pasingsingan, guru Lawa Ijo di Mentaok”“Ah, barangkali kau keliru Mahesa Jenar” kata Titis Anganten, “Tidakkah gurumu sering mengatakan kepadamu bahwa Pasingsingan itu termasuk salah seorang dari kami?”“Benar, Tuan” Mahesa Jenar menjelaskan. “Tetapi ternyata ia telah mengambil seorang murid yang terkenal dengan sebutan Lawa Ijo, yang termasuk dalam golongan hitam”Kembali wajah Titis Anganten berubah. Rupanya ia tidak menyetujui keterangan Mahesa Jenar. “Siapakah yang mengatakan itu kepadamu?” tanyanya.“Aku pernah melukai Lawa Ijo itu dengan Sasra Birawa, jawab Mahesa Jenar. Hal itu terpaksa aku lakukan karena Lawa Ijo mempergunakan cincin bermata akik yang merah menyala dan beracun””Pada saat itulah muncul Pasingsingan yang akan membunuhku. Untunglah bahwa pada saat itu hadir pula Ki Ageng Pandan Alas, meskipun tidak menampakkan diri”“Pandan Alas?” potong Titis Anganten. Dan tiba-tiba wajahnya menjadi terang oleh suatu kesan yang lucu terhadap Pandan Alas.“Ya, Ki Ageng Pandan Alas telah memberikan tanda-tanda kehadirannya dengan sebuah tembang Dandanggula” sambung Mahesa Jenar.“Ah, masih saja orang tua itu senang pada tembang. Masihkah suaranya baik dan nadanya tidak sumbang?”Terdengarlah Titis Anganten tertawa lirih. “Bagus-bagus, orang tua jenaka itu rupanya masih akan panjang umur. Tetapi bagaimana dengan Pasingsingan?”Mendengar pertanyaan itu segera Mahesa Jenar menjawab, “Orang itu memakai kedok kayu yang kasar.”“Betul..., kau betul. Pasingsingan itu mungkin berwajah bopeng sehingga ia malu menampakkan wajahnya. Kami sahabat-sahabatnya pun belum pernah mengenal wajahnya yang asli. Dan batu merah yang disebutnya akik Kelabang Sayuta itu benar- benar miliknya. Tetapi...“ Titis Anganten berhenti sebentar, lalu melanjutkannya, “Aneh kalau ia termasuk aliran hitam” “Menurut Ki Ageng Pandan Alas, beliau meragukan keaslian Pasingsingan itu” sahut Mahesa Jenar.“He...?” kembali Titis Anganten terkejut. “Mungkin..., mungkin. Tetapi setan mana yang berani mengaku Pasingsingan itu? Pasti ia termasuk dalam tingkatan orang tua itu pula. Kalau tidak, barangkali umurnya tidak akan lebih dari satu hari saja”Titis Anganten berhenti berbicara. Tampaklah ia sedang tiba-tiba katanya, “Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, pulanglah kalian. Sebaiknya Kakang Sora Dipayana segera diberi tahu mengenai kehadiran Sima Rodra. Perkara Pasingsingan biarlah diurus oleh Pandan Alas, yang sudah tidak punya urusan apa-apa lagi kecuali bertanam jagung. Ya, memang ia suka menanam jagung sejak muda. Itulah pokok makanannya. Ia sama sekali tidak pernah makan beras”Kemudian terdengarlah Titis Anganten itu tertawa. Lalu sambungnya, “Kalau Kakang Sora Dipayana sudah tahu, selesailah tugasku. Aku ingin melanjutkan perjalanan ke barat, mumpung aku sudah sampai di sini. Aku ingin mengunjungi Kakang di Gunung Slamet”“Tetapi tidakkah Tuan hendak singgah di rumahku?” sahut Gajah Sora. “Dan mungkin Tuan akan dapat bertemu dengan ayah. Barangkali pertemuan itu dapat menggembirakan ayah”Titis Anganten menggelengkan kepalanya. "Pertemuan semacam itu selalu menjadi pembicaraan orang. Apalagi di daerah yang sedang ribut ini. Katakanlah bahwa aku akan datang besok kalau aku akan pulang ke Banyuwangi. Ketahuilah bahwa di sini segala sesuatu tak dapat dirahasiakan kalau kita tidak melakukannya dengan sembunyi- sembunyi. Sekarang, aku sudah lelah setelah bersembunyi beberapa hari mengintip Sima Rodra. Nah selamat berpisah. Salam buat ayahmu Gajah Sora”Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak sempat lagi untuk mengatakan sesuatu, sebab segera Titis Anganten melangkah pergi menyelinap diantara dedaunan, dan hilang ditelan gelap. Tinggallah kini Gajah Sora dan Mahesa Jenar, yang segera teringat kepada pekerjaannya. Karena itu segera mereka pun melanjutkan cepat mereka sampai ke Banyubiru, makin amanlah keris yang dipertaruhkannya di Sarapadan, segera mereka memotong jalan ke Bergota. Mereka berjalan dengan cepat tanpa berhenti. Sebab bagaimanapun kemungkinan Sima Rodra akan menyusul mereka masih tetap ada, meskipun Titis Anganten telah mengatakan bahwa untuk sementara mereka dapat merasa mereka berjalan tanpa berhenti, sehingga pada hari berikutnya, ketika matahari sudah condong ke barat, mereka dengan selamat sampai ke Banyubiru. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah segera berhenti memandang ke arah Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari menyambut kepala daerah perdikan jalan-jalan yang akan mereka lewati menjadi ramai. Mereka menyambut dengan tulus dan bangga atas kepala daerah mereka, yang mereka taati. Tetapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui bahwa kepala daerah mereka itu baru saja menyelesaikan suatu pekerjaan yang hampir membawa orang yang berdiri di tepi jalan itu bersorak-sorak ramai sekali, tetapi ada pula yang berbisik, “Dari manakah Ki Ageng Gajah Sora itu...? Dan siapakah kawan seperjalanannya itu...?”Tampaklah kesibukan yang luar biasa. Hal ini disebabkan tak seorang pun dari penduduk Banyubiru yang mengetahui bahwa Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan kota. Tiba- tiba mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora telah Jenar menyaksikan sambutan rakyat yang meriah itu dengan hati yang berdebar- debar. Tampaklah betapa Ki Ageng Gajah Sora memiliki sifat kepemimpinan yang tinggi, sehingga rakyatnya sangat kiri kanan jalan, di balik pagar manusia yang menyambutnya, tampaklah halaman- halaman yang luas-luas dan bersih. Dan di atas halaman-halaman itu berdiri rumah- rumah yang besar dan bagus. Hal itu memberi pertanda bahwa Banyubiru tergolong daerah yang ketika Mahesa Jenar menyaksikan bahwa pada umumnya lumbung-lumbung mereka sama sekali tak berdinding, malahan ada yang bentuknya hanya seperti payung yang berdaun lebar. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa daerah itu merupakan daerah yang aman dan Biru terletak di lambung bukit Telamaya di kaki Gunung Merbabu sebelah utara. Di hadapannya terbentang dataran tinggi yang dibagi dalam dua jenis tanah. Di sebelah barat merupakan tanah persawahan yang subur, sedang di sebelah timur terdapat sebuah rawa yang besar. Kemudian di bagian utara dari rawa-rawa itu ditumbuhi pohon-pohon liar yang lebat, disambung dengan hutan-hutan dalam hutan-hutan belukar yang berawa-rawa itulah bersembunyi gerombolan Uling yang terkenal dengan nama Sepasang Uling dari Rawa Pening. Daerahnya merupakan daerah yang sangat sulit dicapai. Meskipun demikian, Sepasang Uling itu telah membuat sendiri jalan rahasia menuju ke rakyat Banyubiru, sawah serta Rawa Pening itu merupakan sumber penghasilan yang utama. Rawa Pening terkenal banyak sekali menyimpan ikan-ikan rawa yang besar- besar. Sehingga dengan demikian penghidupan mereka agak dapat terjamin pula. Sedangkan gerombolan Uling itu, sama sekali tidak berani mengganggu mereka, sebab di bawah pimpinan Ki Ageng Gajah Sora, rakyat Banyubiru merupakan rakyat yang kuat lahir dan maka Ki Ageng Gajah Sora di sepanjang jalan melambai-lambaikan tangannya untuk menyambut sorak-sorai rakyatnya. Tiada lama berselang, terdengarlah derap beberapa ekor kuda yang datang dari arah depan. Dan muncullah dari kelokan jalan, beberapa orang berkuda menyongsong kedatangan Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa kuda-kuda itu mendekati Ki Ageng Gajah Sora, meloncatlah seorang yang bertubuh agak pendek dan gemuk dari atas kudanya. Wajahnya, meskipun sudah ditandai dengan garis-garis umur, tetapi tampak kekanak-kanakan dan jenaka. Kecuali kuda yang dinaikinya, orang itu masih menuntun seekor kuda lagi yang berwarna putih, sudah lengkap dengan yang lain melihat orang itu meloncat turun, maka berloncatan pulalah mereka dari atas kuda-kuda berkatalah orang yang pendek gemuk itu dengan suara berderai, “Anakmas Gajah Sora, hampir seluruh Rawa Pening aku suruh aduk untuk mencari Anakmas, kalau-kalau sedang mandi di sana. Bahkan Gunung Gajahmungkur itu aku suruh balikkan, mungkin Anakmas terselip di dalamnya. Sungguh pandai Anakmas membikin orang tua bingung. Kemanakah Anakmas selama beberapa hari ini?”Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. “Tetapi tak sesuatu yang Paman lakukan. Untunglah aku selamat” orang tua yang sudah memutih itu bergerak-gerak. “Aku sudah memerintahkan. Tetapi Nyi Ageng melarangnya. Katanya aku disuruh menunggu sampai seminggu ini. Kalau tidak, Nyi Ageng sendiri akan memberi perintah untuk mencari Anakmas” Gajah Sora tersenyum. “Dan sekarang aku sudah kembali, Paman”Kembali orang tua itu berkata, “Aku memang sudah mendapat kesimpulan, bahwa Anakmas pergi untuk sesuatu tugas yang tak seorang pun boleh mengetahui, kecuali Nyi Ageng. Kalau tidak, pastilah Nyi Ageng Gajah Sora sudah ribut sejak semula”Lalu terdengarlah suara orang itu tertawa berderai. “Karena itu aku tidak berusaha lagi untuk mencari Anakmas. Dan sekarang Anakmas sudah pulang dengan selamat bersama- sama seorang yang belum aku kenal” sambungnya. Lalu membungkuklah orang itu kepada Mahesa Jenar. “Bolehkah aku memperkenalkan diri Anakmas...? Namaku Wanamerta” tanya orang itu sambil memperkenalkan Jenar membalas hormat orang tua itu.“Aku bernama Mahesa Jenar, yang oleh kebaikan hati Ki Ageng Gajah Sora, aku mendapat kehormatan singgah di Banyubiru”Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kepada Ki Ageng Gajah Sora, “Anakmas Gajah Sora, karena aku tidak tahu bahwa Anakmas datang berdua, maka aku hanya membawa seekor kuda untuk Anakmas. Maka baiklah kalau Anakmas Mahesa Jenar ini mempergunakan kudaku saja untuk bersama-sama dengan Anakmas Gajah Sora”“Lalu Paman...?” tanya Gajah Sora.“Biarlah aku memakai salah satu dari kuda anak-anak itu” dipersilahkannya Mahesa Jenar mempergunakan kuda Wanamerta yang berwarna abu-abu agak kemerah-merahan, sedang Gajah Sora mempergunakan kudanya sendiri yang berwarna mereka sekarang berkuda, tetapi mereka berjalan perlahan-lahan juga, sebab masih saja orang-orang menyambut mereka di kiri kanan beberapa lama mereka berjalan diantara rakyat Banyubiru, sampailah iring- iringan berkuda itu ke sebuah lapangan luas, yang di tengah-tengahnya tumbuh sepasang pohon beringin. Lewat tengah-tengah lapangan yang tak lain adalah Alun-alun Banyubiru, mereka menuju ke sebuah rumah besar yang berpendapa luas dan bertiang ukir-ukiran. Itulah tempat kediaman Ki Ageng Gajah muka pendapa itu telah banyak orang berjajar-jajar menanti. Diantara mereka berdiri seorang perempuan. Ketika iring-iringan itu sampai di muka pendapa, segera Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar turun dari kuda, dan berjalan ke arah para di muka tangga, perempuan itu segera mengambil siwur dan mencuci kaki Ki Ageng Gajah Sora. Orang itulah Nyi Ageng Gajah Nyi Ageng Gajah Sora mencuci kaki suaminya maka dipersilahkan Mahesa Jenar mencuci kakinya, dan seterusnya berganti-ganti dengan mereka yang turut serta menjemput kedatangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Setelah itu Gajah Sora suami-istri bersama-sama dengan Mahesa Jenar langsung menuju ke jadi tertegun sejenak ketika mereka melihat di dalam Pringgitan itu duduk seorang yang telah lanjut usianya, berkain kotak-kotak dan berbaju lurik hijau bergaris- garis besar. Dari wajahnya memancar keagungan pribadinya yang berwibawa. Melihat orang itu, segera Gajah Sora berlutut sebagai pernyataan bakti dari seorang putra kepada ayahnya. Orang itulah Kiai Ageng Sora Jenar pun segera membungkuk hormat. Ia sudah pernah bertemu dengan Ki Ageng Sora Dipayana itu di Pangrantunan. Bahkan ia banyak memberikan petunjuk- petunjuk untuk mendapatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun harus melalui suatu ujian, bertempur melawan Gajah orang yang sama itu, sekarang nampak jauh berbeda dengan yang pernah ditemuinya di Pangrantunan dahulu. Kalau saja ia tidak mengenal jenggotnya yang panjang, rambutnya serta alisnya yang telah memutih seluruhnya, juga tidak di rumah Ki Ageng Gajah Sora, maka besarlah kemungkinan bahwa ia sudah tidak dapat mengenal kedatangan anaknya serta Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Setelah Mahesa Jenar dan Gajah Sora suami-istri mengambil tempat duduk di atas sebuah tikar pandan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana, berkatalah orang tua itu, Selamatlah kedatangan kalian setelah menunaikan kewajiban kalian yang berceriteralah Gajah Sora atas segala pengalaman-pengalaman mereka berdua selama mereka berusaha untuk menemukan kedua keris pusaka dari Demak itu. Dan yang terakhir diceritakan pula kehadiran Sima Rodra dari Alas Lodaya yang berusaha untuk merebut kembali kedua keris itu. Juga diceriterakan bahwa mereka mendapat pertolongan Pendekar Sakti dari Banyuwangi. Mendengar cerita Gajah Sora itu Ki Ageng Sora Dipayana mengernyitkan alisnya yang sudah putih. Tampaklah bahwa orang tua itu sedang sibuk berpikir. “Kau memang beruntung Gajah Sora, bahwa Titis Anganten sempat membebaskan engkau dari tangan Sima Rodra itu. Kalau saja Pendekar Banyuwangi itu tidak menyaksikan pertemuanmu dengan Sima Rodra, kau berdua meskipun mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten maka tidak ada kemungkinan kau berdua dapat membebaskan diri dari padanya. Kalau hal itu terjadi maka kesalahan yang terbesar adalah terletak di pundakku. Aku terlalu menyisihkan diri dan yang terakhir terlalu sibuk dengan urusan-urusan kecil di Pangrantunan sehingga aku tidak tahu atas kedatangan Harimau Hitam itu. Dan yang pasti Pandan Alas pun masih belum tahu akan hal itu, sebab kalau ia tahu maka setidak-tidaknya ia akan mencegah Mahesa Jenar mendekati Gunung Tidar, ujar Ki Ageng Sora kembali Ki Ageng Sora Dipayana itu merenung. Mungkin ia sedang memecahkan cara untuk mengusir Sima Rodra itu dari Gunung Sima Rodra bukanlah seorang yang dapat diremehkan. Ia mempunyai kesaktian yang setingkat dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Pasingsingan dan sebagainya. Tetapi bagaimanapun, dengan diketahuinya bahwa Sima Rodra ada di Bukit Tidar merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan. Sebab dengan demikian dapatlah diadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diharapkan.“Baiklah Gajah Sora...” kata Ki Ageng Sora Dipayana kemudian. “Urusan Sima Rodra serahkan saja padaku. Itu merupakan soal orang tua-tua. Sekarang yang penting simpanlah Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu di tempat yang baik, sehingga keduanya aman sampai dapat kalian serahkan kepada kalangan Istana, jagalah bahwa hal itu merupakan rahasia sehingga tak seorangpun, meskipun orang dalam, boleh mengetahuinya, juga adikmu Lembu Sora”Maka segera Ki Ageng Gajah Sora melaksanakan petunjuk-petunjuk ayahnya. Disimpannya Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten di dalam ruang itu, setelah semuanya dilaksanakan dengan baik, segera Ki Ageng Sora Dipayana minta diri. Gajah Sora yang telah mengetahui tabiat ayahnya, sama sekali tidak menahannya. Sebab ia tahu betul bahwa apa yang dilakukan ayahnya sebagian besar adalah atas perhitungannya yang itu maka diantarkannya Ki Ageng Sora Dipayana itu sampai ke halaman belakang, bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Dan pergilah orang tua itu tanpa ada yang mengetahuinya, kecuali mereka itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera pergi ke pendapa, menemui orang- orang yang sudah lama menanti untuk mendengarkan kemana Gajah Sora selama ini pergi. Tetapi apa yang dikatakan Gajah Sora hanya sekadar memuaskan hati mereka, sedangkan kepentingan yang sebenarnya sama sekali tak demikian pembicaraan itu ternyata menarik juga. Pertanyaan-pertanyaan datang bertubi-tubi, yang kadang-kadang memang agak merepotkan. Tetapi dengan sedikit berputar balik, akhirnya puaslah semua setelah pertemuan itu berlangsung beberapa saat, segera Gajah Sora dan tamunya minta waktu untuk beristirahat, sehingga sesaat kemudian bubarlah pertemuan Sora kemudian mempersilahkan tamunya untuk beristirahat di Gandok sebelah timur dimana sudah disediakan ruangan untuk Mahesa Jenar. Disana ia akan tinggal untuk beberapa waktu, memenuhi permintaan Ki Ageng Gajah Gajah Sora seluruhnya hanyalah terdiri dari tiga orang kecuali pembantu- Sora dan istrinya yang ramah selalu melakukan kewajibannya dengan baik selaku seorang istri kepala Daerah Perdikan. Ia mengerti apa yang harus dilakukan, tidak hanya terhadap suaminya tetapi juga kepada rakyatnya. Ia selalu siap memberikan pertolongan- pertolongan yang diperlukan oleh penduduk wilayahnya. Kemudian seorang anak laki- laki, putra Gajah Jenar mengenal anak itu pertama kali ketika ia sedang duduk bersama-sama Ki Ageng Gajah Sora di halaman depan rumahnya. Tiba-tiba dari atas pohon melayanglah sebuah bayangan ke arah Gajah Sora. Mahesa Jenar yang tidak tahu-menahu, hampir saja menangkap bayangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Gajah Sora tidak bergerak, Mahesa Jenar pun mengurungkan itu kemudian dengan kuatnya melekat di punggung Ki Ageng Gajah Sora. Ternyata ia adalah seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 13 tahun. Badannya tampak kuat dan agak gemuk. Wajahnya bulat mirip benar dengan wajah ayahnya. Ia sudah agak besar, tetapi karena ia putra satu-satunya, tampaklah bahwa ia agak manja juga meskipun tidak berlebih-lebihan. Menilik sikap dan geraknya, pastilah ia sudah banyak menerima pendidikan dan pelajaran-pelajaran dari Ageng Gajah Sora sendiri, umurnya agak terpaut sedikit dari Mahesa Jenar. Mereka setuju untuk memanggil dengan sebutan kekeluargaan. Karena Gajah Sora agak lebih tua dari Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar memanggilnya rumah Ki Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar merasakan ketenteraman hidup kekeluargaan. Berbeda sekali dengan jalan hidup yang ditempuhnya akhir-akhir ini. Pergi dari satu tempat ke tempat lain. Mengalami bermacam-macam kejadian yang sebagian besar adalah di luar kalau ia sedang terbaring di ruang tidurnya, yang bersih dan teratur segala perabotnya. Timbullah iri hatinya kepada mereka yang berhasil membangun rumah tangga yang baik. Dalam saat-saat yang demikian, kadang-kadang merayap pula di dalam dadanya suatu keinginan untuk dapat menikmati kehidupan seperti ingatan Mahesa Jenar yang kadang-kadang melayang itu sampai kepada masa- masa yang baru saja dilampauinya, terbayang kembali dengan jelas satu persatu peristiwa-peristiwa itu muncul berganti-ganti di dalam angan-angannya. Teringatlah ia kepada sebuah halaman yang sejuk dan nyaman dari rumah Wirasaba yang digarap oleh istrinya yang cantik dan setia, yang karena kebodohannya, terpaksa terjadi kesalah- seorang yang tinggi hati, yang tidak mau mendapat pertolongan dari orang lain. Tetapi hatinya merasa lega, kalau diingatnya bahwa orang itu telah menemukan ingatan Mahesa Jenar terlempar kepada suatu peristiwa di hutan Tambak Baya. Pertemuannya dengan Jaka Sora dan Lawa Ijo. Dan tiba-tiba ia menjadi berdebar- debar ketika terbayang wajah seorang gadis yang ketakutan dan yang kemudian akan membunuh dirinya sendiri dengan keris Sigar Penjalin. Dan jantungnya terasa berdegup keras sekali ketika ia mencoba mengingat- ingat gadis itu, yang sedang tidur nyenyak di hadapannya. Tetapi kemudian Rara Wilis itu lenyap pula. Yang ada kini hanyalah kulitnya yang berwarna merah tembaga terbakar terik matahari. Tiba-tiba terasa bahwa belum waktunya bagi Mahesa Jenar untuk membayangkan ketenteraman hidup berkeluarga. Karena itu, maka jalan sebaik-baliknya adalah melanjutkan usahanya untuk melaksanakan tujuan hidupnya, bekerja keras diantara rakyat untuk kepentingan rakyat. Membebaskan mereka dari segenap gangguan kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan liar dan Mahesa Jenar bangun dari tidurnya pada suatu pagi yang cerah, ia mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang kemudian dibukanya sedikit, ia dapat melihat rombongan orang-orang berkuda langsung menuju ke Mahesa Jenar melihat orang yang paling depan, ia mengernyitkan dahinya. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia menjadi muak melihat wajah itu. Berbeda sekali dengan Ki Ageng Gajah Sora yang tampak agung dan berwibawa. Tetapi orang ini, meskipun dari tetesan darah yang sama, sama sekali tak mempunyai ciri-ciri kebesaran seperti kakaknya. Karena itu Mahesa Jenar acuh tak acuh saja atas kedatangan adik Ki Ageng Gajah Sora, yaitu Ki Ageng Lembu Sora dengan beberapa pintu gandok itu ditutup. Kemudian Mahesa Jenar melemparkan dirinya di atas amben bambu yang panjang disisi ruang tempat kemudian terdengar suara ribut di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan tamu-tamunya dari Pamingit. Terdengarlah kemudian suara Ki Ageng Gajah Sora dengan ramahnya mempersilahkan adiknya masuk ke mereka semua sudah masuk, Mahesa Jenar berdiri, lalu dengan kesal pergi keluar ke samping Jenar melayangkan pandangan matanya ke dataran yang terbentang di bawah lambung bukit Telamaya. Di bagian barat terbentang tanah persawahan yang subur. Padi yang pada saat itu sedang menguning dan burung-burung yang terbang di atasnya. Tetapi burung-burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencuri butiran-butiran padi yang bergoyang-goyang karena tiupan angin pagi yang lembut, sebab anak-anak yang menungguinya selalu menghalau mereka, dengan goprak dan hantu-hantuan yang digerakkan dengan bagian timur, agak jauh menjorok ke utara terbentang rawa. Airnya yang gelisah memantulkan cahaya matahari yang masih merah, yang baru saja tersembul dari balik cakrawala. Beberapa perahu lesung para nelayan masih tampak hilir- mudik seperti sepotong lidi yang terapung-apung untuk menggali kekayaan yang tersimpan di dalamnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar derap kuda yang lari sangat kencang seperti dikejar hantu. Kuda itu tidak masuk halaman lewat gerbang depan, tetapi menyusup melalui pintu butulan di samping. Mahesa Jenar memalingkan mukanya dengan agak segan- itu lagi, desis Mahesa Jenar. Dan muncullah dari pintu butulan pagar itu seorang anak laki-laki yang berwajah bulat dan agak gemuk menunggang kuda hitam mengkilat. Ketika anak itu melihat Mahesa Jenar, cepat-cepat ia menghentikan kudanya.“Assalaumalaikum Paman” sapanya sambil menyeringai.“Dari mana kau Arya?” tanya Mahesa Jenar kepada anak Ki Ageng Gajah Sora Salaka itu tidak segera menjawab, tetapi dijatuhkannya sebuah benda yang cukup berat dari punggung kuda itu. Melihat benda itu Mahesa Jenar terkejut. “Uling...?” katanya.“Ya, Paman, aku dari Rawa Pening menangkap uling itu” Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau memang nakal Arya. Bukankah ayahmu telah melarangmu pergi ke Rawa Pening? Besok, kalau kau sudah bertambah besar tentu kau boleh pergi ke sana. Tetapi sekarang belum waktunya kau pergi sendiri,” itu meloncat turun lalu mendekati Mahesa Jenar. “Paman, jangan Paman katakan kepada ayah kalau aku pergi sendiri” bisiknya.“Lalu uling itu...?” tanya Mahesa Salaka diam termangu. Kemudian jawabnya, “Aku katakan bahwa Pamanlah yang menangkap”Mahesa Jenar tersenyum. “Hampir semalam suntuk aku bersama ayahmu di pendapa itu. Bagaimana aku pergi menangkap uling?” Arya Salaka kebingungan. Akhirnya ia mendapat jawaban. Dengan tertawa ia berkata, “Gampang Paman, aku akan katakan bahwa seorang kawan memberi aku uling sebagai hadiah”“Hadiah apa?” tanya Mahesa Jenar.“Aku tidak tahu, Paman” Ia menjadi kebingungan lagi.“Tetapi seharusnya kau tidak pergi ke sana, Arya. Banyak bahayanya. Bukan saja uling- uling macam itu, tetapi uling yang tinggal di sebelah rawa itu akan lebih berbahaya bagimu, kalau mereka tahu bahwa kau adalah putra Ki Ageng Gajah Sora” kata Mahesa Jenar itu memandang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian. “Uling Putih dan Uling Kuning, maksud Paman?”Mahesa Jenar mengangguk.“Baiklah Paman, tetapi pada suatu saat aku pasti akan dapat menangkapnya seperti menangkap uling itu”“Nah, pergilah, gantilah pakaianmu yang basah kuyup itu”Tanpa menjawab, anak itu memutar tubuhnya lalu melangkah pergi. Tetapi demikian Mahesa Jenar memandang punggung anak itu, ia menjadi terkejut, sebab punggung itu terluka dan darah cair mengalir dari luka itu.“Arya...” panggil Mahesa Jenar, “kenapa punggungmu luka?” “Luka...?” tanya Arya keheranan. “Ah tidak seberapa Paman” “Tetapi dari luka itu banyak mengalir darah”Arya Salaka menggosok punggungnya dengan tangannya, dan terasa sesuatu yang cair dan hangat.“Uling itu mencoba melawan, Paman, katanya kemudian, Kami berkelahi beberapa lama. Tetapi akhirnya aku dapat membunuhnya”“Untunglah uling itu tidak menyeretmu ke dalam rawa” sahut Mahesa Jenar.“Kakiku dibelitnya, Paman” jawab Arya Salaka bangga. “Dan memang ia mencoba menarik aku ke rawa. Tetapi tentu saja aku tidak mau. Rasa-rasanya tidak akan menarik berkunjung ke lubang uling. Karena itu aku berusaha membunuhnya dengan belati. Dan akhirnya sebagai Paman lihat sekarang, uling itu sudah mati. Kalau saja ibuku tidak tahu bahwa aku yang menangkapnya, pasti beliau senang untuk memasaknya.”Setelah berkata demikian, segera Arya meloncat dengan lincahnya menangkap ekor uling itu lalu diseretnya ke dapur sambil Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Luar biasa, katanya kepada diri sejak ia melihat anak itu pertama kali, ia sudah merasa kagum. Arya Salaka merupakan seorang anak-anak laki-laki yang memiliki bakat yang baik. Badannya kukuh dan otaknya pun ternyata dapat bekerja dengan baik. Uling adalah sebangsa binatang air yang mirip dengan ular dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia adalah belut raksasa. Tetapi anak ini dapat menangkapnya. Sebentar kemudian terdengar suara Nyai Ageng Gajah Sora nyaring. Rupanya Nyai Ageng sedang memarahi Arya Salaka. Kemudian terdengarlah langkah Arya berlari-lari keluar dan langsung meloncat memanjat sebatang pohon. Dari sana ia meloncat ke atas atap yang dibuat dari papan, untuk itu tampak Nyai Ageng menyusul di belakang, tetapi Arya Salaka telah lenyap. Mahesa Jenar segera memalingkan kepalanya, dan pura-pura tidak ketika Nyai Ageng melihatnya, segera ia mendekati Mahesa Jenar, “Kami mendapat tamu dari Pamingit, Adik dari Ki Ageng. Barangkali Adi Lembu Sora dapat memperkenalkan diri dengan Adi Mahesa Jenar.”Mahesa Jenar pura-pura terkejut lalu membalikkan dirinya. “Baiklah Nyai Ageng, sebaiknya aku mandi dulu” jawabnya.“Silakanlah Adi” katanya kemudian. Lalu ditinggalkannya Mahesa Jenar kembali seorang langkah-langkah segan Mahesa Jenar pergi menuruni tangga batu yang dibuat di lereng bukit di samping rumah Ki Ageng Gajah Sora, pergi ke mata air. Di sanalah biasanya ia mandi. Ia sama sekali tidak bernafsu untuk bertemu dengan Lembu Sora. Tetapi sebagai seorang tamu maka tak baik kalau ia Mahesa Jenar selesai membersihkan diri, segera ia pun naik ke pendapa dan langsung masuk ke pringgitan untuk menemui Ki Ageng Lembu kehadiran Mahesa Jenar, segera Gajah Sora memperkenalkannya kepada Lembu Sora. “Adi Lembu Sora, ini adalah Adi Mahesa Jenar, sahabatku yang telah lama tidak bertemu, katanya”Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Adi Mahesa Jenar..., Adi Lembu Sora ini adalah adikku satu-satunya yang sekarang memerintah daerah Perdikan Pamingit. Ia datang juga hanya untuk kunjungan kekeluargaan”Ternyata memang Ki Ageng Lembu Sora seorang yang sombong. Ketika Mahesa Jenar membungkukkan diri menghormatnya atas perkenalan itu, ia mengangkat dadanya dan memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang merendahkan. Kemudian ia bertanya, “Sahabat, adakah yang menarik perhatianmu, sampai kau datang dari jarak yang sedemikian jauhnya ke Banyubiru?”Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar adalah tamu yang sopan, maka ia mencoba untuk tidak mengesankan ketidaksenangannya. Maka jawabnya, “Ki Ageng, memang banyak yang menarik perhatianku di sini. Terutama keramah-tamahan penduduknya” Lembu Sora menarik dagunya hampir melekat dadanya. Matanya menjadi berkilat-kilat. Rupanya ia merasakan sindiran halus yang diucapkan oleh Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak menjawab, sebab segera Gajah Sora yang bijaksana mengalihkan pembicaraan mereka ke hal-hal yang tak bagaimanapun ada suatu kesan yang dalam menggores di dalam jantung Mahesa Jenar, bahwa Ki Ageng Lembu Sora bukanlah seorang yang baik hati. Dan sebenarnyalah bahwa memang orang ini telah banyak memusingkan kepala ayahnya. Ki Ageng Sora Lembu Sora itu orang lain, maka mudahlah soalnya. Tetapi ia adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana, seperti juga Gajah Sora Dipayana. Di sinilah mulanya letak kesalahannya. Nyai Ageng Sora Dipayana dahulu terlalu memanjakan anak bungsunya, sehingga akhirnya anak ini susah diatur. Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana tidak mau mengecewakan istrinya, karena ia sangat Ageng Sora Dipayana adalah seorang istri yang setia, sejak Ki Ageng masih menjadi seorang yang harus mulai segala soal. Membuka hutan dan segala macam kerja yang harus dikerjakan dalam suasana sakit dan keadaan yang demikian, satu-satunya orang yang bersedia membantunya adalah almarhum istrinya itu. Karena itu, meskipun sekarang istrinya sudah tidak ada lagi, Ki Ageng Sora Dipayana tidak sampai hati untuk berlaku keras kepada anak kesayangan istrinya Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah cukup lama turut serta menemui Ki Ageng Lembu Sora, segera ia minta diri untuk pergi berjalan-jalan, melihat-lihat kota Banyubiru. Ia tidak ingin lebih lama lagi bercakap-cakap dengan Ki Ageng Lembu Sora, yang tampaknya tak mau menghargai orang lain. Sebab ia sendiri bukanlah orang yang amat kuat menahan setelah ia mendapat izin dari tuan rumah, segera ia turun ke halaman dan berjalan keluar. Ia sama sekali tidak mempunyai tujuan kecuali sekadar menuruti langkah demikian ia keluar halaman, dilihatnya seorang yang berdiri bersandar dinding. Orang ini belum pernah dikenalnya. Beberapa orang Banyubiru yang dekat dengan Gajah Sora sudah hampir dikenal seluruhnya. Melihat Mahesa Jenar keluar, segera orang itu memutar tubuhnya dan berjalan perlahan-lahan menjauhi Jenar menjadi agak curiga. Tetapi apakah yang akan dilakukan di siang hari, dimana sinar matahari yang mulai terik ini membakar seluruh halaman?Tetapi bagaimanapun, orang itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui maksud orang itu. Maka segera Mahesa Jenar pun berjalan mengikutinya dari jarak kira-kira 50 langkah. Ia menjadi semakin curiga ketika orang itu beberapa kali menengoknya dan mempercepat tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut melihat bayangan yang melayang dari sebatang pohon di pinggir jalan, langsung menyerang orang yang menjadi bertambah terkejut ketika diketahuinya bahwa bayangan itu adalah Arya Salaka yang tak diketahui sebab-sebabnya menyerang orang yang berjalan di depan Mahesa Jenar orang itu pun bukan orang sembarangan. Dengan tangkasnya ia mengelakkan diri, bahkan sekaligus ia berputar sambil menyerang dengan tumitnya. Arya Salaka, ketika tidak berhasil menyerang orang itu dari atas pohon, rupanya menyadari bahwa lawannya berbahaya. Karena itu ia pun segera bersiap, sehingga ketika kaki lawannya melayang ke perutnya, ia meloncat kaki yang tak berhasil mengenainya itu berdesing di hadapan perutnya, Arya Salaka segera meloncat sambil menghantam dada orang bagaimanapun Arya Salaka adalah seorang anak yang belum dewasa. Apalagi lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak, sehingga demikian Arya Salaka meloncat, demikian ia masuk ke dalam perangkap lawannya. Tangannya yang terjulur untuk menyerang itu dapat ditangkap dan dengan sekali gerak tangan itu Arya Salaka ternyata cerdik juga. Ia mengikuti saja putaran tangannya, tetapi demikian ia membelakangi orang itu demikian cepat ia itu sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak itu dapat berbuat demikian, sehingga karena hal yang sama sekali tak terduga-duga itu ia terlontar ke belakang dan tangkapannyapun orang itu menjadi marah sekali. Matanya tampak berapi-api dan dengan tidak ragu-ragu lagi ia pun meloncat maju menghantam Arya Salaka. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga Arya Salaka tidak sempat mengelak. Maka yang dapat dikerjakan hanyalah menangkis pukulan kuatnya, Arya Salaka adalah seorang anak yang sama sekali tak seimbang dengan lawannya. Maka demikian tangannya yang disilangkan di muka kepalanya itu terbentur tangan lawannya, ia terpental jauh dan hampir saja kepalanya membentur dinding halaman. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cepatnya meloncat dan menangkap Arya Salaka berdesis menahan sakit. Tangannya terasa panas seperti terbakar. Tetapi meskipun demikian ia masih saja akan meloncat maju kalau tidak ditahan oleh Mahesa Jenar, sehingga ia meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan itu. “Lepaskan..., lepaskan aku Paman” teriak Arya yang diserangnya itu rupanya juga benar-benar marah. “Lepaskan anak kurangajar itu, biar aku pecahkan kepalanya” katanya.”Tunggu dulu Arya Apakah sebabnya kau menyerang orang itu?” tanya Mahesa Jenarperlahan-lahan.“Ia berjalan hilir-mudik dan mengintai-intai rumah kami. Mungkin ia seorang penjahat yang akan memasuki rumah kami ini” jawabnya.“Tutup mulutmu!” hardik orang itu.“Tutup sendiri mulutmu” balas Arya Salaka. “Selama ini, di kota ini tidak ada orang yang bertingkah laku seperti kau. Tak pernah kota ini ada kejahatan seperti kota-kota lain. Dan kau aku kira bukan orang Banyubiru, yang datang untuk membuat onar di sini” Mendengar makian Arya Salaka, orang itu tak dapat menahan diri lagi. Karena itu ia melangkah maju dan dengan tangannya yang kuat ia menampar muka Arya Arya Salaka sudah berada di tangan Mahesa Jenar. Karena itu sudah pasti kalau Mahesa Jenar tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Maka ketika tangan itu sudah terayun, Mahesa Jenar memutar tubuhnya dan memasang sikunya, sehingga tangan orang itu mengenai siku Mahesa perlakuan Mahesa Jenar, orang itu menjadi semakin marah.“Apamukah anak ini...? Anakmu...? Kalau begitu kau tak pandai mengajar anakmu sehingga anakmu kurangajar” bentaknya.“Tunggu dulu...” jawab Mahesa Jenar, “Jangan berlaku kasar terhadap anak-anak. Memang barangkali anak ini terlalu nakal, tetapi biarlah orang tuanya yang mengajarnya. Seharusnya kau melaporkan saja kepada ayah bundanya. Sedang kau sendiri, memang dapat menimbulkan sangkaan yang bukan-bukan. Sikapmu agak mencurigakan”Wajah orang itu menjadi merah padam. Kata-kata Mahesa Jenar sangat menusuk perasaannya. Karena itu, hampir berteriak ia kembali membentak, “Apa hakmu berkata demikian. Adakah kau pengawal kota atau Kepala Daerah Perdikan ini?”Aku bukan apa-apanya, jawab Mahesa Jenar, masih setenang tadi. “Tetapi tiap-tiap warga kota ini berhak turut serta menjaga keamanan kotanya. Dan bukankah kau bukan penduduk Banyubiru?”Mata orang itu menjadi semakin berapi-api. Tetapi rupanya ada sesuatu pertimbangan yang menahannya untuk tidak berbuat sesuatu. Akhirnya ia berkata lantang, “Tak ada gunanya aku melayani orang-orang gila macam kau dan anak itu”Lalu ia memutar tubuhnya, dan melangkah pergi. Tetapi kali ini Mahesa Jenar yang kemudian tidak membiarkan orang itu pergi. Ia segera menahannya.“Nanti dulu, bukankah kau bermaksud melaporkan anak ini kepada ayahnya. Nah, marilah aku antar kau kepadanya. Ayah anak ini adalah Ki Ageng Gajah Sora” kata Mahesa kata-kata Mahesa Jenar, segera wajah orang itu berubah. Sebentar kemudian nampak ia menjadi pucat dan gemetar. Tetapi sebentar kemudian kembali wajahnya menyala-nyala. Kemudian kembali ia melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah sikapnya, Mahesa Jenar bertambah curiga. Segera Arya Salaka dilepaskan dan didorongnya ke pinggir, sedangkan ia sendiri segera meloncat untuk menghadang orang yang dicurigainya itu.“Tunggu dulu... urusan kita belum selesai” gigi orang itu gemeretak menahan marah. Sikap Mahesa Jenar dirasa sudah keterlaluan. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menghindari bentrokan. Tidak ada persoalan diantara kita, sebaiknya kau jangan memulainya, kata orang yang menyaksikan peristiwa itu segera tertarik dan mengerumuninya. Mereka mengenal Mahesa Jenar sebagai sahabat Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa orang diantara mereka bertanya-tanya, “apakah yang terjadi...?“Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Arya Salaka telah mendahului berceritera dengan suara yang mengalir seperti air itu menjadi semakin gelisah, wajahnya kembali menjadi pucat. Jangan dengarkan omongan anak itu. Sekarang beri aku jalan, katanya.
Cerita Silat Nagasasra Sabuk Inten SH Mintardja di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
Mahesa Jenar merupakan tokoh utama dalam cerita Nagasasra dan Sabukinten karya S.H. Mintardja. Cerita yang populer tahun 1960 ini mengisahkan tentang sosok mantan prajurit Kasultanan Demak dalam upaya mencari pusaka kerajaan, yakni keris Nagasasra dan Sabukinten. Mahesa Jenar dikenal pula sebagai Senapati Rangga Tohjaya.
Mendengar semua keterangan itu, gelora perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar terasa agak mengendor sedikit, setelah mereka mengalami ketegangan perasaan beberapa saat lamanya. Memang sulit untuk dapat memasuki halaman itu tanpa dilihat oleh salah seorang pengawal. Sebab dinding halaman Gajah Sora cukup tinggi dan gerbangnya pun terjaga rapat. Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di sekeliling halam
Nagasasra dan Sabuk Inten Jilid 54. Jilid 54. ”Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada Sultan?” ”Aku telah mencoba,” jawab Karebet, ”Tetapi ada orang ketiga yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”. Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. ”Siapa?”. ”Tumenggung Prabasemi.”. Kembali Kebo Kanigara